Langsung ke konten utama

Pilpres 2019: Dari Dramaturgi, Oligarki hingga Machiavelli


Pilpres 2019: Dari Dramaturgi, Oligarki hingga Machiavelli
Anggara 

Sumber Gambar: Kumparan.com
Indonesia memiliki hajat akbar setiap lima tahun sekali untuk menentukan arah kemudi negara ini akan dibawa. Pemilu yang konon sebagai salah satu variabel yang menunjukan demokratis tidaknya suatu negara. Bila menurut Schumpeter demokrasi itu sebagai metode “institusional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a competitive strunggle for people’s vote”(Schumpeter,2003:269). Dari sinilah kemudian jangan kaget apabila dalam waktu mendekat pemilu lingkungan sekitar kita mendadak ramai dengan para kandidat yang maju berkompetisi ingin memperoleh lebih 185 juta suara rakyat baik pemilu legislatif atupun ketatnya pemilihan presiden. Konsep dasar kompetisi yang dibangun melalui pemilu tersebut akhirnya juga berimplikasi pada ketatnya persaingan dengan menggunakan  berbagai strategi dan intrik politik.

Tentunya risiko konflik yang muncul setiap pemilu seharusnya sudah menjadi keniscayaan dengan konsep demokrasi yang didasarkan pada kompetisi tersebut. Konflik terjadi karena adanya  perjuangan diungkapkan antara setidaknya dua pihak yang saling bergantung yang merasa tujuan yang tidak kompatibel, imbalan langka dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai kepentingan mereka (Omisore, 2014:118). Berangkat dari perbedaan kepentingan inilah pihak-pihak yang berkompetisi saling berusaha menungguli pihak lawannya. Lantas kita bisa memprediksi drama politik akan tersajikan pada pemilu presiden atau pilpres 2019 mendatang tidak ubahnya dengan pilpres ditahun 2014.

Pilpres 2014 menjadi perjalanan panjang politik Indonesia akibat nuansa persaingan begitu sangat terasa hingga akan memasuki pilpres 2019. Aksi opisisi pasca kemenangan Jokowi sebagai presiden sempat membuat eksekutif mati kutu ketika harus menghadapi kekuatan parlemen yang dikuasai opisisi Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi opisisi berhasil mengubah ketentuan UU MD3 yang seharusnya memberikan ketua DPR kepada partai pemenang dengan memberikan jabatan kepada koalisi KMP sendiri (Asqolani, 2014:3). Begitu juga ketika mengikuti perkembangan politik pasca pilpres 2014 utamanya melalui media sosial, kita juga akan menemukan dua perbedaan untuk mendikotomi mana pendukung pemerintah  dengan julukan “cebong” atau oposisi yang kontra pemerintah dengan sebutan “kampret”.  Dikotomi inilah yang akan menambah daya gedor dua kubu calon pada pemilihan presiden mendatang untuk berperang di arena medsos memperebutkan pengakuan kubu mana yang patut dan layak diperjuangkan sebagai presiden.

Perebutan suara rakyat yang masih mengambang (swing voters)ini akan menjadi lahan garapan yang harus dimaksimal menjelang pilpres 2019 mendatang. Isu ekonomi dan agama atau politik identitas tetap menjadi komoditi utama yang terus digoreng untuk upaya memperoleh simpati masyarakat baik kesuksesan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur atau kegagalan Jokowi mengerek perekonomian masyarakat menengah kebawah. Memang pada dasarnya masyarakat memilih tidak begitu melihat platform program kerjanya tetapi lebih kepada personnya sehingga yang muncul like or dislike yang akibatnya lebih berpeluang munculnya gesekan horizontal ketika terjadi perbedaan pilihan.

Disini yang menjadi sorotan mengenai penyakit yang ada dalam demokrasi electoral yang terjadi di Indonesia. Sistem yang sebenarnya hanya mengutamakan prosedural dengan mengabaikan nilai penting yang diperjuangkan “kesejahteraan rakyat. Terlenanya memperebutkan suara rakyat menjadi titik jenuh dari intrik-intrik politik untuk memperebutkan suara melalui jalur dalam (kecurangan). Politik uang yang terjadi menjelang pemilu muncul akibat masih lemahnya regulasi pencegahan dan pemberatasan politik uang. Hasil survei CSIS menunjukan untuk tataran pilkada saja tahun 2018 dari lima provinsi dijadikan sampel  40,5 persen responden menyatakan akan menerima uang/barang yang ditawarkan tim sukses kandidat yang akan dipilih. Sikap serupa juga dikatakan 48,7 persen responden CSIS di Jawa Tengah, 40,5 persen responden di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan (Abdulsalam,2018). Dari sini sebanrnya mengindikasikan masih terbuka lebar peluang politik uang yang akan terjadi pada pemilu tahun 2019. Tentu saja peluang besar bagi bandar yang memiliki modal dan kekuatan untuk bias mempraktikannya.

Drama Politik 2019

Drama politik yang hadir dalam pilpres 2019 tak kalah menarik untuk diamati. Terpilihnya KH Maruf Amien mendampingi Jokowi memberikan daya kejut yang lumayan menyentak bagi sebagian masyarakat. Pilihan yang sebenarnya diluar prediksi, yang mana nama Maruf Amin merupakan nama diluar daftar calon wakil presiden yang telah dipersiapkan akan mendampingi petahana. Drama politik menyertai pemilihan calon wakil presiden yang santer akan menunjuk Mahfud MD sebagai wakil presiden Jokowi. Konfirmasi dipilihnya Mahfud sudah dilakukan oleh Pratikno selaku Sekretaris Negara dengan menyuruhnya menyiapkan berkas CV dan mengukur baju untuk deklarsi (Susanti, 2018). Akan tetapi dua jam menjelang deklarasi keputusan tersebut berubah dengan penunjukan KH Maruf Amin sebagai calon wakil presiden.

Kasus diatas hampir mirip dengan teori dramaturgi yang dipaparkan oleh Ervin Goffman (dalam Halim, 2014) yang memandang dunia politik tak ubahnya sebagai panggung dibanding dengan realitas seperti apa yang dipahami. Disini dramaturgi sangat erat dikaitkan dengan modal yang bersifat simbolik.secara sederhananya dramaturgi dilihat sebagai fatammorgana politik, yang seolah-olah ada akan tetapi sebenarnya belum nyata adanya. Kondisi politik ditekan sekuat-kuatnya dengan memunculkan kamuflase untuk menggambarkan citra melalui tanda-tanda yang ada (Hakim:2014). Walaupun tidak semua drama yang ada sebagai delik fiksi yang dibuat-buat sebab aksi panggung yang dipertontonkan merupaka realitas yang nyata tanpa disadari oleh penonton.

Sama halnya yang dilakukan oleh kubu Prabowo melalui acara Ijtima’ Ulama yang menghasilkan rekomendasi calon wakil presiden bagi Prabowo. Hasil Ijtima merekomendasikan nama Ustadz Abdul Somad dan Habib Salim Segaf Al-Jufri sebagai wakil yang akan digandengkan Prabowo (Kresna, 2018) Tetapi pada hari terakhir pendaftaran capres dan cawapres Prabowo memilih Sandiaga Uno untuk mendampinginya. Pastinya keputusan yang diambil ini juga tak kalah menariknya, Prabowo secara terang tidak memilih salah satu calon yang direkomendasikan oleh pendukungnya. Koalisi yang dibangun dengan Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan anaknya Agus Yudhoyono bias menjadi cawapres bagi Prabowo meski dengan membuat narasi bahawa SBY tidak mengharapkan hal tersebut. Tetapi aksi drama Andi Arief yang menyeloroh bahwa Prabowo Jendral Kardus yang pendiriannya bisa dibeli dengan uang(Abdulsalam,2018). Kasak-kusuk kopensasi mahar politik untuk masing-masing partai koalisi Prabowo untuk memuluskan langkah Sandiaga sebagai cawapres. Pada akhirnya penunjukan Sandiaga sebagai cawapres menjadi pertanyaan representasi dari siapakah sosok pengusaha sekaligus mantan wakil gubernur DKI ini?

Drama lain tetap tersajikan ketika Mahfud MD membeberkan peristiwa adanya tokoh-tokoh yang berperan dalam penjegalannya sebagai calon wakil presiden. Nama-nama Romahrumuzy ketua PPP, Muhaimin Iskandar ketua PKB, beberapa ketua parpol pendukung termasuk KH Maruf Amin sendiri tak lupa disebutkan. Pengakuan Mahfud MD dengan menyeret nama-nama pentolan parpol ini setidaknya menjadikan narasi pencalonan yang terjadi memunculkan dinamika tersendiri di akar rumput. Begitu juga dipihak Prabowo melalui skenario Ijtima’ Ulama juga membuat acara Ijtima’ Ulama edisi kedua dengan merevisi hasil putusan jilid 1 yang kemudian menerima Sandiaga sebagai calon wakil presiden yang mendampingi ketua umum Gerindra.

Drama diatas sebetulnya bila ditarik jauh kebelakang akan membuat narasi yang sedikit lucu. KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI mengeluarkan statemen tentang kasus Ahok yang menghina Al-Quran surat Al-Maidah 51 dan ulama yang memiliki kapasitas mengeluarkan hukum. Melalui statemen fatwa ini kemudian melahirkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang menginisasi gerakan Aksi Bela Islam dan berhasil memenjarakan Ahok mantan gubernur DKI. GNPF MUI kemudian berubah menjadi GNPF Ullama yang menjadi semacam kendaraan politik untuk menjalankan misi politik agamanya melalui isu identitas termasuk dengan menolak memberi dukungan kepada partai pendukung Ahok sekaligus penolakan terhadap Jokowi yang bersal dari PDIP. Tetapi terakhir KH Maruf Amin bersedia dipinang Jokowi sebagai cawapres yang notabene sebagai pencetus fatwa penodaan agama oleh Ahok yang melahirkan GNPF. Lantas  posisi KH Maruf Amin yang dulu dikawal fatwanya oleh GNPF sekarang menjadi lawan vis to vis politik ketika digandeng Jokowi melalui dukungan GNPF ke Prabowo-Sandi.

Disini memperlihatkan drama-drama politik yang terjadi tanpa bisa diduga dan ditebak. Dramartugi muncul karena adanya fenomena dan konflik politik yang memunculkan melodramatik atau drama yang sangat dibuat-buat. Sebab drama yang terbangun adakalanya sebuah kamufalse sebagai salah satu strategi politik. Disisi yang lain sebenarnya sebagai realitas yang ada dan terbangun secara tanpa sengaja akibat kondisi politik yang terjadi.

Tetap dibajak oleh Oligarki                                                 

Sejatinya demokrasi yang berjalan di Indonesia bukan demokrasi yang diangan-angankan oleh masyarakat Indonesia setelah tergulingnya rezim ototarianisme Soeharto. Demokrasi yang mampu membawa perubahan ditiap sendi sektor kehidupan dengan kesetaraan hak dan kebebasan menetukan pilihan.  Memang penyelenggaraan pemilu merupakan satu bentuk dari aplikasi nilai demokrasi akan tetapi tanpa sadar demokrasi melalui sistem electoral pemilu sebenarnya bagian dari pemaksaan dengan pembatasaan pilihan. Dimana pertarungan politik yang tersaji di dalam negeri hanya sebatas dominasi pertarungan koalisi politik yang predatoris yang dilakukan aktor-aktor eks-rezim Soeharto dengan meminggirkan kekuatan masyarakat sipil (Yuki Fukuoka,2013).

Pada dasarnya penggambaran konteks yang terjadi menjelang pilpres 2019 disini sebagai acuan untuk melihat kekuatan besar yang ada dibalik Jokowi dan Prabowo. Hal ini juga yang pernah diraba oleh Vedi Hadiz dengan memaparkan keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama” (Hadiz, 2005:149-150). Kita ketahui aliansi yang terbangun oleh para pemilik modal sangat cair dan cenderung berubah-ubah asalkan mampu mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Koalisi ini kemudian menjadi semacam jaringan yang saling berhubungan satu sama lain yang kemudian mampu membetuk kartel politik. Bila lebih tepatnya idiom yang muncul yakni oligarki politik, yang telah menjelma menjadi  sebuah sistem yang memiliki kekuatan relasi yang terpusat antar pemiliki otoritas dan pemilik modal untuk mempertahankan harta dan kekuasaannya secara kolektif (Robinson & Hadiz,2014:56). ciri lain dari adanya oligarki dalam demokrasi kita ketika mereka minoritas yang berkuasa mampu memaksa kepentingannya untuk diterima dalam pilihan-pilihan masyarakat. 

Kita awali lingkaran konglomerat yang menjadi penyokong utama Jokowi terdapat nama-nama kawakan yang sudah lama melang melintang di perpolitikan Indonesia sejak Orde Baru seperti Surya Paloh (Nasdem), Hary Tanoe (Perindo), Wiranto (Hanura), Luhut Binsar P,  Erick Thohir, Oesman Sapta Oedang (Hanura), Ruslan Roesani, Jusuf Kalla (Golkar), Aburizal Bakire (Golkar)dan nama-nama yang lainnya. Di Kubu Prabowo terdapat nama-nama termasuk Hasyim Djojohadikusumo (Gerindra), Sandiaga Uno (Gerindra), Maher Al-qadri aliansi keluarga cendana (Berkarya). Terlihat para konglomerat membentuk aliansi masing-masing dengan memblok ke salah satu kubu.

Saya memasukan nama-nama pengusaha tersebut sebagai bagian dari oligarki karena sebagai orang-orang yang memiliki kekayaan mereka miliki memiliki ketimpangan yang jauh dengan mayoritas masyarakat di Indonesia. Oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula (Winters,2011:18). Kecendrungan ini akan tampak dengan besarnya penguasaan sumber material memengaruhi semikin besar pula motif dan tujuan politiknya. Kolaborasi oligarki yang muncul pasca reformasi dengan menjadi penguasa ekonomi yang mempertahankan materialnya melalui politik. Tampak terlihat mereka rata-rata memiliki partai politik sendiri atau menjadi sponsor pendanaan partai politik di Indonesia. Mereka menggunakan kekuatan ekonomi untuk menaikan citra politik dan membeli kekuasaan, sekaligus menggunakan politik untuk menambah dan memproteksi pundi-pundi ekonominya.

Disini model jaringan kebanyakan para pemodal lebih dekat dengan calon petahana dikarenakan akses kekuasaan akan lebih mudah dijalankan dibanding berada dikubu oposisi. Semisal saja Surya Paloh sendiri sebagai pemilik Media Group termasuk Metro TV lebih memainkan peran dibalik layar dalam memengaruhi kebijakan Jokowi. Padahal dia memiliki modal untuk maju menjadi calon presiden atau meminta sebagai menteri, tetapi hal tersebut tidak dilakukannya. Peluang besar yakni mengamankan kepentingan ekonominya menjadi barter yang terjalin antara Surya Paloh dan Jokowi.

Beberapa kebijakan ekonomi Jokowi sebenarnya lebih menguntungkan pemodal besar seperti dalam paket kebijakan ekonomi Jokowi di tahun 2015 yang memberi kelonggaran bagi pembukaan ritel-ritel di daerah (Marwan, 2015). Pembangun infrastuktur yang dilakukan Jokowi juka membuka asumsi tidak sebatas menguntungkan sebagaian rakyat Indonesia tetapi termasuk konglomerat yang menikmati dari hasil tender proyek pembangunan infrastuktur. Nawacita yang menjadi ruh program Jokowi juga tidak terlihat menonjol akibat intervensi dari oligarki yang bercokol disekitar kekuasaannya. Meskipun argumen ini kurang diterima karena Jokowi sendirilah juga merupakan bagian oligarki yang dibentuknya ketika mencalonkan diri pada pilkada walikota Solo melalui PDIP (Asasi, 2015).

Memang bila dilihat dari orang-orang kaya dibelakang Prabowo lebih terlihat mencolok, sebab Prabowo sendiri juga merupakan salah satu elit miliader yang dibentuk Soeharto dan merupakan anak aristokrat Djojohadikusumo. Sama halnya yang terjadi pada pilpres 2014 pengusaha macam Aburizal Bakrie, Hary Tanoe dan Riza  Chalid (bos Petral) juga pernah berada dibarisan Prabowo. Khusus untuk Rizal menjadi salah satu actor yang menjadi tumpuan logistik pasangan Prabowo Hatta di Pilpres 2014. Rahasia ini terkuak ketika kasus papa minta saham yang melibatkan Setya Novanto dimana Riza Chalid menggelontorkan dana sebesar 500 milyar untuk pasangan Prabowo-Hatta (Santoso. 2018). Posisi dulu dirasa lebih potensial menang karena didukung lebih banyak partai politik, berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Pemetaan pada kedua kandidat capres-cawapres sendiri tidak semata pada pada akses persedian duit super jumbo tetapi juga penggabaran dari kelompok minoritas yang berhasil menguasai sumber daya dari kekayaan Indonesia.

Begitu juga yang terjadi ketika Aksi Bela Islam 212  pada 2016 silam yang menuntut Ahok untuk dipenjarakan. Disini memunculkan banyak spekulasi yang berargumen bahwasanya agenda dibelakang aksi 212 merupakan pertarungan antar oligarki yang ada. Karena polarisasi yang muncul dua kekuatan saling memback-up masing-masing kelompok agamis berhadapan dengan nasionalis.

Hasil dari peran oligarki politik yang terjadi ketika memaksakan kehendak dengan mematok ambang parlemen (Presidential Threshold) sebesar 20% menjadi langkah mudah untuk berkosolidasi antar pemodal.  Sebab dengan keputusan sedemikian rupa yang terjadi adalah mematenkan peran oligarki melalui partai-partai politik yang telah mapan. Dinamika ini akan merembet kepada gagalnya pemilihan presiden secara langsung untuk bias mengahdirkan sosok calon presiden baru atau alternatif. Ambang batas yang tinggi menyandera hak-hak politik sesorang yang memiliki kapasitas untuk maju berkompetisi terlepas dari cengkeraman ego oligarki melalui partai politik.

Dari senilah kemudian pemilihan presiden tahun 2019 mendatang masih belum bisa lepas dari jerat oligarki. Sebab ketokohohan melalui gerak populisme dalam pilpres belum cukup untuk bisa memenangkan pertarungan tanpa adanya dukungan logistik. Dukunga logistik inilah yang kemudian menjadi tali yang mengekang masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.  Sebab populisme hanya sebatas membangun suatu narasi pada masyarakat tentang senasib dan seperjuangan yang rentan karena berdiri diatas semua kelas dalam masyarakat. Hal ini yang terjadi pada Prabowo yang harus membuka rekening perjuangan untuk bisa berlaga kembali dalam pilpres 2019. Bisa jadi alasan logistik inilah kemudian dia lebih memilih Sandiaga sebagai wakil untuk menambal kekurangan pendanaan bertarung di pilpres yang minimal memiliki modal mencapai 7 triliyun (Santoso, 2015). Sama hal yang terjadi pada Jokowi dengan hanya bermodal kekayaan dibawah Prabowo dan sebagai petahana, bisa diprediksi dia juga akan membangun aliansi dengan para oligarki untuk menyetok logistik mengamankan kursi kepresidenan sekaligus menyosong perang pilpres jilid II menghadapi Prabowo. Tentunya inilah yang disebut demokrasi elektoral yang ditunggangi oligarki. Siapapun yang menjadi presiden ketika dia bersekutu dengan kekuatan oligarki maka pemerintahan yang terbentuk akan tersandera dengan kepentingan oligarki pula.

Mengutip dari pemaparan Hadiz mengenai dampak dari kekuatan oligarki dalam pemerintahan yakni:

“Indikasi menyusupnya oligarki dapat dilihat dari komposisi kepentingan dominan yang relatif sempit dan bersifat ekslusioner. Meskipun ada tokoh baru reformis dalam panggung politik Indonesia, namun logika kekuasaan yang digariskan kepentingan oligarkis masih menjadi koridor yang harus dijalani tokoh tersebut. Mereka terpaksa untuk mengikuti logika kekuasaan kepentingan oligarkis karena akan tersingkir apabila tidak melakukan hal tersebut. Hal inilah yang menyulitkan orang-orang ‘reformis’ yang kelak masuk ke dalam pemerintahan, mereka harus bertindak sesuai dengan garis jika tidak ingin terpental.”(Asasi,2015)

Lantas kita akan tahu betapa besar oligarki yang menunggangi presiden terpilih periode 2019-2024, yang belum mampu leluasa menentukan kebijakaanya. Baik oligarki yang dimainkan oleh aktor secara gradual atau oligarki yang sudah menjadi pakem dalam sistem politik yang ada di Indonesia.

Likuifikasi  dan Politik Machiavelli

Ramainya tensi politik menyongsong pilpres 2019 semakin mempertajam aksi-aksi politisi dengan drama politiknya. Seperti yang disebutkan sebelumnya drama yang dipertontonkan sangat bias apakah sebagai suatu setting politik atau memang sebagai realistas politik yang terjadi. Setelah pilpres yang masih tetap ditunggang oleh oligarki juga termasuk akan terjadinya lukuifikasi politik. Memang term likuifikasi dikenal sebagai fenomena alam yang terjadi ketikaa massa tanah mengalami sebuah desformasi yang mengakibatkan air dibawah tanah kepermukaan dan merubah tanah menjadi lumpur.

Tetapi bila yang terjadi dalam politik, likuifikasi sebagai fenomena menurunnya tingkat kejujuran dengan membuka peluang untuk berperilaku bohong demi suatu tujuan politik. Kebohongan yang membabi buta dengan sulitnya dilakukan klarifikasi akan memunculkan informasi hoax,  kondisi ini sangat membahayakan pondisi politik dalam negeri. Layaknya likuifikasi alam dengan amblasnya permukaan tanah, maka hal yang sama juga akan terjadi di Indoensia bila berita hoax yang muncul sangat banyak sampai sulit membedakan mana berita benar dan palsu. Kasus yang terjadi belakang ini yang dilakukan Ratna Sarumpaet menjadi satu dari beberapa kasus yang melakukan narasi palsu demi mendapat simpati dari masyarakat. Hoax yang dibuat juga memakan korban pasangan Prabowo-Sandi yang tak lain calon capres cawapres yang dia sendiri menjadi juru kampanyenya. Itulah mengapa Hoax menjadi sangat berbahaya karena tidak mengenal kawan maupun lawan untuk menjadi korban. Efek domino dari hoax adalah munculnya saling ketika percayaan antar masyarakat dan ini akan mengancam dari sendi-sendi demokrasi (Fernandes, 2018).

Fenomena politik seperti yang banyak terjadi di Indonesia yang akan menjurus pada politik Marchiavelli. Kita ketahui marchiavelli merupaka suatu diskursus politik yang mengandalkan muslihat, tipuan dan dusta atau dengan kata lain tujuan menghalakan cara (doel heillgt de middelen). Jika melihat isi buku prencipe Marchiavelli menekankan bagaimana memisahkan politik dengan nilai moralitas (Musthofa, 2018). Disini tentunya tidak hanya sebatas orang yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan tetapi juga orang yang ingin merebut kekuasaan dalam pemerintahan.

Disisi lain perilaku politik yang mengandalkan kebohongan yang dilakukan politisi bukan berarti mereka tidak memahami perilaku bohong sebagai tindakan tak bermoral tetapi mereka terpaksa melakukannya demi memuluskan tujuan politiknya.  Bisa jadi dari semua kebohongan yang dilakukan polisi sebagai seni politik atas praktik politik Machiavelli. Prediski tema kampanye yang dilakukan tim pemenangan khususnya di media sosial masih tetap memainkan isu SARA, ditambah hoax dan dilengkapi kreativitas para haters untuk menjatuhkan pesaingnya. Maka lengkap sudah tragedi likuifikasi politik benar-benar muncul di sistem politik Indonesia.

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya pertama, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memang dibikin drama bahwa negara sedang genting. Agar para elite bisa merampok orang kaya, timses punya kesempatan mencopet dari elite, begitu seterusnya sampai bawah. Sebetulnya, dari keseluruhan drama menjelang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), semua politikus, elite politik, akademisi, dll, sudah tahu apa yang akan terjadi. Apa yang sedang ramai belakangan ini hanya drama yang dibikin seakan-akan kondisi negara sedang genting. Kondisi yang sebenarnya dibikin supaya semua bisa dapat keuntungan dari hajatan ini.

Kedua, Oligarki yang menjadi penumpang gelap dalam pilpres 2019 hanya akan lenyap bukan melalui perubahan prosedur politik menjadi demokrasi, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi kekuasaan politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku. Oligarki yang terjadi memang awalnya sebagai penguasaan sumber daya oleh beberapa aktor saja seperti yang diutarakan oleh Winters akan tetapi penguasaan tersebut kemudian membentuk suatu relasi antar aktor kedalam sistem politik yang ada, disitulah kemudian muncul oligarki yang dipaparkan oleh Hadiz.

Ketiga, banyaknya drama yang dibuat dengan mengedepankan hoax atau perilaku bohong akan membawa pada praktik politik Marchiavelli. Praktik ini sangat membahayakan bagi jalannya iklim politik dalam negeri karena etika politik sudah tidak digunakan lagi. Sehingga yang muncul tidak ada rasa saling percaya antar masyarakat dan akan berbuntut panjang pada jalannya demokrasi kita.

Daftar Pustaka

Ford, Michele anda Thomas B Pepinsky, 2014. Beyond Oligarchy. New York: Cornell University.

Halim, Abd. 2014. Politik Lokal: Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya. Yogyakarta: LP2B.

Jeffrey A. Winters, Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Jefrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Majalah Prisma, no. 1, vol. 33, 2014, 14.

Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi dan Dahris Setiawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), 149-150.

Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto”, Political Studies Review II, no. I, 2013: 52-64.


https://geotimes.co.id/opini/hoaks-ratna-sarumpaet-dan-praktik-politik-machiavellian/


https://tirto.id/akhir-perjalanan-pks-dan-pan-kawal-ijtima-ulama-cRsr

https://tirto.id/apa-yang-bikin-politikus-doyan-gunakan-politik-uang-di-pemilu-cNT5





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi Oplosan ala Soekarno

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi  Oplosan  ala Soekarno Rasa jenuh pastinya menggelanyut diperasaan setiap masyarakat Indonesia jika memandang situasi  pemerintahan di Jakarta. Hal ini tak lepas media yang selalu memberitakan tayangan kisruh para elit politik kepada masyarakat. Kisruh yang tak kunjung usai setia mengiringi pemeritahan Jokowi-JK sejak dilatik pertengahan oktober 2014 silam. Keadaan ini diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menembus angka Rp.13.150, terburuk pasca reformasi. Harga  BBM yang tiap bulannya naik turun  diikuti melambungnya harga sembako yang kian hari semakin membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama bagi mereka kelas menengah kebawah. Perbedaan mencolok kemampuan ekonomi masyarakat juga menambah gap antara si kaya dengan miskin semakin lebar.  Perhatian serius harus ditekankan pada masa-masa transisi seperti ini karena hal yang tak mungkin bisa terjadi. Akibat dari rasa frustrasi masyarakat yang akut aka

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh"

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh" Makam Rosulullah S.A.W Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-o

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pembedaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pemberdaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia Abstrak Civil society atau masyarakat sipil merupakan komponen penyeimbang dari kekuasaan negara. Gerakan ini muncul melalui keinginan dan tuntutan hak dari masyarakat kepada pihak pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Oleh karenanya untuk mewujudkan tuntutan tersebut maka masyarakat membutuhkan alat untuk mengekspresikan dan menyalurakan keinginanya kepada penguasa. Kehadiran NU sebagai jam’iyyah dinniyah memberikan warna sebagai perantara untuk mendapingi masyarakat dalam berhubungan dengan hegemoni negara. Tugas organisasi NU juga sebagai pemberdaya masyarakat dalam menghadapi permaslahan-permaslahan yang muncul dikehidpan sosial menempatkan organisasi warga nahdliyyin tersebut menjadi salah satu ruh berdirinya NKRI secara seimbang baik menjasi social control maupun social engeneering. Pendahuluan              Civil socety   atau  masyarakat sipil merupakan sebuah bentuk gerakan