Pilpres 2019: Dari
Dramaturgi, Oligarki
hingga Machiavelli
Anggara
Sumber Gambar: Kumparan.com |
Tentunya
risiko konflik yang muncul
setiap pemilu seharusnya sudah menjadi keniscayaan dengan konsep demokrasi yang
didasarkan pada kompetisi tersebut. Konflik terjadi karena adanya perjuangan diungkapkan antara setidaknya dua
pihak yang saling bergantung yang merasa tujuan yang tidak kompatibel, imbalan
langka dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai kepentingan mereka (Omisore,
2014:118). Berangkat dari perbedaan kepentingan inilah pihak-pihak yang
berkompetisi saling berusaha menungguli pihak lawannya. Lantas kita bisa memprediksi
drama politik akan tersajikan pada pemilu presiden atau pilpres 2019 mendatang
tidak ubahnya dengan pilpres ditahun 2014.
Pilpres 2014 menjadi perjalanan panjang politik Indonesia
akibat nuansa persaingan begitu sangat terasa hingga akan memasuki pilpres
2019. Aksi opisisi pasca kemenangan Jokowi sebagai presiden sempat membuat
eksekutif mati kutu ketika harus menghadapi kekuatan parlemen yang dikuasai
opisisi Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi opisisi berhasil mengubah ketentuan
UU MD3 yang seharusnya memberikan ketua DPR kepada partai pemenang dengan
memberikan jabatan kepada koalisi KMP sendiri (Asqolani, 2014:3). Begitu juga
ketika mengikuti perkembangan politik pasca pilpres 2014 utamanya
melalui media sosial, kita juga akan menemukan dua perbedaan untuk mendikotomi
mana pendukung pemerintah dengan julukan
“cebong” atau oposisi yang kontra pemerintah dengan sebutan “kampret”. Dikotomi inilah yang akan menambah daya gedor
dua kubu calon pada pemilihan presiden mendatang untuk berperang di arena
medsos memperebutkan pengakuan kubu mana yang patut dan layak diperjuangkan
sebagai presiden.
Perebutan suara rakyat yang masih mengambang (swing voters)ini akan menjadi lahan garapan yang harus dimaksimal
menjelang pilpres 2019 mendatang. Isu ekonomi dan agama atau politik identitas tetap
menjadi komoditi utama yang terus digoreng
untuk upaya memperoleh simpati masyarakat baik kesuksesan Jokowi dalam
pembangunan infrastruktur atau kegagalan Jokowi mengerek perekonomian
masyarakat menengah kebawah. Memang pada dasarnya masyarakat memilih tidak
begitu melihat platform program kerjanya tetapi lebih kepada personnya sehingga
yang muncul like or dislike yang
akibatnya lebih berpeluang munculnya gesekan horizontal ketika terjadi
perbedaan pilihan.
Disini yang menjadi sorotan mengenai
penyakit yang ada dalam demokrasi electoral yang terjadi
di Indonesia. Sistem yang sebenarnya hanya mengutamakan prosedural dengan
mengabaikan nilai penting yang diperjuangkan
“kesejahteraan rakyat”. Terlenanya memperebutkan suara rakyat menjadi titik
jenuh dari intrik-intrik politik untuk memperebutkan suara melalui jalur dalam
(kecurangan). Politik uang yang terjadi menjelang pemilu
muncul akibat masih
lemahnya regulasi pencegahan dan pemberatasan politik uang. Hasil survei CSIS
menunjukan untuk tataran pilkada saja tahun 2018 dari lima provinsi dijadikan
sampel 40,5 persen responden menyatakan akan menerima
uang/barang yang ditawarkan tim sukses kandidat yang akan dipilih. Sikap serupa
juga dikatakan 48,7 persen responden CSIS di Jawa Tengah, 40,5 persen responden
di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan (Abdulsalam,2018). Dari sini sebanrnya mengindikasikan masih terbuka lebar
peluang politik uang yang akan terjadi pada pemilu tahun 2019. Tentu saja
peluang besar bagi bandar yang memiliki modal dan kekuatan untuk bias mempraktikannya.
Drama Politik 2019
Drama politik yang hadir dalam pilpres 2019 tak kalah
menarik untuk diamati. Terpilihnya KH Maruf Amien mendampingi Jokowi memberikan
daya kejut yang lumayan menyentak bagi sebagian masyarakat. Pilihan yang
sebenarnya diluar prediksi, yang mana nama Maruf Amin merupakan nama diluar
daftar calon wakil presiden yang telah dipersiapkan akan mendampingi petahana. Drama
politik menyertai pemilihan calon wakil presiden yang santer akan menunjuk
Mahfud MD sebagai wakil presiden Jokowi. Konfirmasi dipilihnya Mahfud sudah
dilakukan oleh Pratikno selaku Sekretaris Negara dengan menyuruhnya menyiapkan
berkas CV dan mengukur baju untuk deklarsi (Susanti, 2018). Akan tetapi dua jam
menjelang deklarasi keputusan tersebut berubah dengan penunjukan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden.
Kasus diatas hampir mirip dengan teori dramaturgi yang dipaparkan oleh
Ervin Goffman (dalam Halim, 2014) yang memandang dunia politik tak ubahnya
sebagai panggung dibanding dengan realitas seperti apa yang dipahami. Disini
dramaturgi sangat erat dikaitkan dengan modal yang bersifat simbolik.secara
sederhananya dramaturgi dilihat sebagai fatammorgana politik, yang seolah-olah
ada akan tetapi sebenarnya belum nyata adanya. Kondisi politik ditekan
sekuat-kuatnya dengan memunculkan kamuflase untuk menggambarkan citra melalui
tanda-tanda yang ada (Hakim:2014). Walaupun tidak semua drama yang ada sebagai delik fiksi
yang dibuat-buat sebab aksi panggung yang dipertontonkan merupaka realitas yang
nyata tanpa disadari oleh penonton.
Sama halnya yang dilakukan oleh kubu Prabowo melalui
acara Ijtima’ Ulama yang menghasilkan rekomendasi calon wakil presiden bagi
Prabowo. Hasil Ijtima merekomendasikan nama Ustadz Abdul Somad dan Habib Salim Segaf
Al-Jufri sebagai wakil yang akan digandengkan Prabowo
(Kresna, 2018) Tetapi pada hari terakhir pendaftaran capres dan
cawapres Prabowo memilih Sandiaga Uno untuk mendampinginya. Pastinya keputusan
yang diambil ini juga tak kalah menariknya, Prabowo secara terang tidak memilih
salah satu calon yang direkomendasikan oleh pendukungnya. Koalisi yang dibangun
dengan Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan anaknya Agus Yudhoyono bias
menjadi cawapres bagi Prabowo meski dengan membuat narasi bahawa SBY tidak
mengharapkan hal tersebut. Tetapi aksi drama Andi Arief yang menyeloroh bahwa
Prabowo Jendral Kardus yang pendiriannya bisa dibeli dengan uang(Abdulsalam,2018). Kasak-kusuk kopensasi mahar politik
untuk masing-masing partai koalisi Prabowo untuk
memuluskan langkah Sandiaga sebagai cawapres. Pada akhirnya penunjukan Sandiaga
sebagai cawapres menjadi pertanyaan representasi dari siapakah sosok pengusaha sekaligus
mantan wakil gubernur DKI ini?
Drama lain tetap tersajikan ketika Mahfud MD membeberkan
peristiwa adanya tokoh-tokoh yang berperan dalam penjegalannya sebagai calon
wakil presiden. Nama-nama Romahrumuzy ketua PPP, Muhaimin Iskandar ketua PKB,
beberapa ketua parpol pendukung termasuk KH Maruf Amin
sendiri tak lupa disebutkan. Pengakuan Mahfud MD dengan menyeret nama-nama
pentolan parpol ini setidaknya menjadikan narasi pencalonan yang terjadi
memunculkan dinamika tersendiri di akar rumput. Begitu juga dipihak Prabowo melalui skenario Ijtima’ Ulama juga
membuat acara Ijtima’ Ulama edisi kedua dengan merevisi hasil putusan jilid 1 yang kemudian menerima Sandiaga sebagai calon wakil presiden yang
mendampingi ketua umum Gerindra.
Drama diatas sebetulnya bila ditarik jauh kebelakang akan
membuat narasi yang sedikit lucu. KH Ma’ruf Amin selaku ketua MUI mengeluarkan
statemen tentang kasus Ahok yang menghina Al-Quran surat Al-Maidah 51 dan ulama
yang memiliki kapasitas mengeluarkan hukum. Melalui statemen fatwa ini kemudian
melahirkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) yang menginisasi
gerakan Aksi Bela Islam dan berhasil memenjarakan Ahok mantan gubernur DKI. GNPF
MUI kemudian berubah menjadi GNPF Ullama yang menjadi semacam kendaraan politik
untuk menjalankan misi politik agamanya melalui isu identitas termasuk dengan
menolak memberi dukungan kepada partai pendukung Ahok sekaligus penolakan
terhadap Jokowi yang bersal dari PDIP. Tetapi terakhir KH Maruf Amin bersedia
dipinang Jokowi sebagai cawapres yang notabene sebagai pencetus fatwa penodaan
agama oleh Ahok yang melahirkan GNPF. Lantas
posisi KH Maruf Amin yang dulu dikawal fatwanya oleh GNPF sekarang
menjadi lawan vis to vis politik
ketika digandeng Jokowi melalui dukungan GNPF ke Prabowo-Sandi.
Disini memperlihatkan drama-drama politik yang terjadi
tanpa bisa diduga dan ditebak. Dramartugi muncul karena adanya fenomena dan
konflik politik yang memunculkan melodramatik atau drama yang sangat
dibuat-buat. Sebab drama yang terbangun adakalanya sebuah kamufalse sebagai
salah satu strategi politik. Disisi yang lain sebenarnya sebagai realitas yang
ada dan terbangun secara tanpa sengaja akibat kondisi politik yang terjadi.
Tetap
dibajak oleh Oligarki
Sejatinya demokrasi yang berjalan di Indonesia bukan
demokrasi yang diangan-angankan oleh masyarakat Indonesia setelah tergulingnya
rezim ototarianisme Soeharto. Demokrasi yang mampu membawa perubahan ditiap
sendi sektor kehidupan dengan kesetaraan hak dan kebebasan menetukan
pilihan. Memang penyelenggaraan pemilu
merupakan satu bentuk dari aplikasi nilai demokrasi akan tetapi tanpa sadar
demokrasi melalui sistem electoral pemilu sebenarnya bagian dari pemaksaan
dengan pembatasaan pilihan. Dimana pertarungan politik yang tersaji di dalam
negeri hanya sebatas dominasi pertarungan koalisi politik yang predatoris yang
dilakukan aktor-aktor eks-rezim Soeharto dengan meminggirkan kekuatan
masyarakat sipil (Yuki Fukuoka,2013).
Pada dasarnya penggambaran konteks yang terjadi menjelang
pilpres 2019 disini sebagai
acuan untuk melihat kekuatan besar yang ada dibalik Jokowi dan Prabowo. Hal ini
juga yang pernah diraba oleh Vedi Hadiz dengan memaparkan keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali
adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih
didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai tokoh
yang sama yang pernah mendominasi rezim lama” (Hadiz, 2005:149-150). Kita ketahui aliansi yang terbangun oleh
para pemilik modal sangat cair dan cenderung berubah-ubah asalkan mampu
mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Koalisi ini kemudian menjadi semacam jaringan yang saling berhubungan satu sama lain yang kemudian mampu
membetuk kartel politik. Bila lebih tepatnya idiom yang muncul yakni oligarki
politik, yang telah menjelma menjadi sebuah sistem yang memiliki kekuatan relasi
yang terpusat antar pemiliki otoritas dan pemilik modal untuk mempertahankan
harta dan kekuasaannya secara kolektif (Robinson & Hadiz,2014:56).
ciri lain dari adanya oligarki dalam demokrasi kita ketika mereka minoritas
yang berkuasa mampu memaksa kepentingannya untuk diterima dalam pilihan-pilihan
masyarakat.
Kita awali lingkaran konglomerat yang
menjadi penyokong utama Jokowi terdapat nama-nama kawakan yang sudah lama
melang melintang di perpolitikan Indonesia sejak Orde Baru seperti Surya Paloh
(Nasdem), Hary Tanoe (Perindo), Wiranto (Hanura), Luhut Binsar P, Erick Thohir, Oesman Sapta Oedang (Hanura),
Ruslan Roesani, Jusuf Kalla (Golkar), Aburizal Bakire (Golkar)dan nama-nama
yang lainnya. Di Kubu Prabowo terdapat nama-nama termasuk Hasyim
Djojohadikusumo (Gerindra), Sandiaga Uno (Gerindra), Maher Al-qadri aliansi
keluarga cendana (Berkarya). Terlihat para konglomerat membentuk aliansi masing-masing dengan memblok ke salah satu kubu.
Saya memasukan nama-nama pengusaha
tersebut sebagai bagian dari oligarki karena sebagai orang-orang yang memiliki
kekayaan mereka miliki memiliki ketimpangan yang jauh dengan mayoritas
masyarakat di Indonesia. Oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa
ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang
ekstrem pula (Winters,2011:18). Kecendrungan ini akan tampak dengan
besarnya penguasaan sumber material memengaruhi semikin besar pula motif dan
tujuan politiknya. Kolaborasi oligarki yang muncul pasca reformasi dengan
menjadi penguasa ekonomi yang mempertahankan materialnya melalui politik.
Tampak terlihat mereka rata-rata memiliki partai politik sendiri atau menjadi
sponsor pendanaan partai politik di Indonesia. Mereka menggunakan kekuatan
ekonomi untuk menaikan citra politik dan membeli kekuasaan, sekaligus
menggunakan politik untuk menambah dan memproteksi pundi-pundi ekonominya.
Disini model jaringan kebanyakan para pemodal lebih dekat dengan calon petahana
dikarenakan akses kekuasaan akan lebih mudah dijalankan dibanding berada dikubu
oposisi. Semisal saja Surya Paloh sendiri sebagai pemilik Media Group termasuk
Metro TV lebih memainkan peran dibalik layar dalam memengaruhi kebijakan
Jokowi. Padahal dia memiliki modal untuk maju menjadi calon presiden atau
meminta sebagai menteri, tetapi hal tersebut tidak dilakukannya. Peluang besar yakni
mengamankan kepentingan ekonominya menjadi barter yang terjalin antara Surya Paloh dan Jokowi.
Beberapa kebijakan ekonomi Jokowi sebenarnya lebih
menguntungkan pemodal besar seperti dalam paket kebijakan ekonomi Jokowi di
tahun 2015 yang memberi
kelonggaran bagi pembukaan ritel-ritel di daerah (Marwan,
2015). Pembangun infrastuktur yang
dilakukan Jokowi juka membuka asumsi tidak sebatas menguntungkan sebagaian
rakyat Indonesia tetapi termasuk konglomerat yang menikmati dari hasil tender
proyek pembangunan infrastuktur. Nawacita yang menjadi ruh program Jokowi juga
tidak terlihat menonjol akibat intervensi dari oligarki yang bercokol disekitar
kekuasaannya. Meskipun argumen ini kurang diterima karena Jokowi sendirilah
juga merupakan bagian oligarki yang dibentuknya ketika mencalonkan diri pada
pilkada walikota Solo melalui PDIP (Asasi, 2015).
Memang bila dilihat dari orang-orang kaya dibelakang
Prabowo lebih terlihat mencolok, sebab Prabowo sendiri juga merupakan salah
satu elit miliader yang dibentuk Soeharto dan merupakan anak aristokrat
Djojohadikusumo. Sama halnya yang terjadi pada pilpres 2014 pengusaha macam
Aburizal Bakrie, Hary Tanoe dan Riza Chalid (bos Petral) juga pernah berada dibarisan Prabowo. Khusus
untuk Rizal menjadi salah satu actor yang menjadi tumpuan logistik pasangan
Prabowo Hatta di Pilpres 2014. Rahasia ini terkuak ketika kasus papa minta
saham yang melibatkan Setya Novanto dimana Riza Chalid menggelontorkan dana
sebesar 500 milyar untuk pasangan Prabowo-Hatta (Santoso.
2018).
Posisi dulu dirasa lebih potensial menang karena didukung
lebih banyak partai politik, berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Pemetaan
pada kedua kandidat capres-cawapres sendiri tidak semata pada pada akses
persedian duit super jumbo tetapi juga penggabaran dari kelompok minoritas yang
berhasil menguasai sumber daya dari kekayaan Indonesia.
Begitu juga yang terjadi ketika Aksi Bela Islam 212 pada 2016 silam yang menuntut Ahok untuk
dipenjarakan. Disini memunculkan banyak spekulasi yang berargumen bahwasanya
agenda dibelakang aksi 212 merupakan pertarungan antar oligarki yang ada.
Karena polarisasi yang muncul dua kekuatan saling
memback-up masing-masing kelompok agamis berhadapan dengan nasionalis.
Hasil dari peran oligarki politik yang terjadi ketika
memaksakan kehendak dengan mematok ambang parlemen (Presidential Threshold)
sebesar 20% menjadi langkah mudah untuk berkosolidasi antar pemodal.
Sebab dengan
keputusan sedemikian rupa yang terjadi adalah mematenkan peran oligarki melalui
partai-partai politik yang telah mapan. Dinamika ini akan merembet kepada
gagalnya pemilihan presiden secara langsung untuk bias mengahdirkan sosok calon
presiden baru atau alternatif. Ambang batas yang tinggi menyandera hak-hak
politik sesorang yang memiliki kapasitas untuk maju berkompetisi terlepas dari
cengkeraman ego oligarki melalui partai politik.
Dari senilah kemudian pemilihan presiden tahun 2019
mendatang masih belum bisa lepas dari jerat oligarki. Sebab ketokohohan melalui
gerak populisme dalam pilpres belum cukup untuk bisa memenangkan pertarungan
tanpa adanya dukungan logistik. Dukunga logistik inilah yang kemudian menjadi
tali yang mengekang masing-masing pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Sebab populisme hanya sebatas
membangun suatu narasi pada masyarakat tentang senasib dan seperjuangan yang
rentan karena berdiri diatas semua kelas dalam masyarakat. Hal ini yang terjadi
pada Prabowo yang harus membuka rekening perjuangan untuk bisa berlaga kembali
dalam pilpres 2019. Bisa jadi alasan logistik inilah kemudian dia lebih memilih
Sandiaga sebagai wakil untuk menambal kekurangan pendanaan bertarung di pilpres
yang minimal memiliki modal mencapai 7 triliyun (Santoso, 2015). Sama hal yang terjadi pada Jokowi dengan hanya bermodal
kekayaan dibawah Prabowo dan sebagai petahana, bisa diprediksi dia juga akan
membangun aliansi dengan para oligarki untuk menyetok logistik mengamankan
kursi kepresidenan sekaligus menyosong perang pilpres jilid II menghadapi
Prabowo. Tentunya inilah yang disebut demokrasi elektoral yang ditunggangi
oligarki. Siapapun yang menjadi presiden ketika dia bersekutu dengan kekuatan
oligarki maka pemerintahan yang terbentuk akan tersandera
dengan kepentingan oligarki pula.
Mengutip dari pemaparan Hadiz mengenai dampak dari
kekuatan oligarki dalam pemerintahan yakni:
“Indikasi menyusupnya
oligarki dapat dilihat dari komposisi kepentingan dominan yang relatif sempit
dan bersifat ekslusioner. Meskipun ada tokoh baru reformis dalam panggung
politik Indonesia, namun logika kekuasaan yang digariskan kepentingan oligarkis
masih menjadi koridor yang harus dijalani tokoh tersebut. Mereka terpaksa untuk
mengikuti logika kekuasaan kepentingan oligarkis karena akan tersingkir apabila
tidak melakukan hal tersebut. Hal inilah yang menyulitkan orang-orang
‘reformis’ yang kelak masuk ke dalam pemerintahan, mereka harus bertindak
sesuai dengan garis jika tidak ingin terpental.”(Asasi,2015)
Lantas kita akan tahu betapa besar
oligarki yang menunggangi presiden terpilih periode 2019-2024, yang belum mampu
leluasa menentukan kebijakaanya. Baik oligarki yang dimainkan oleh aktor secara
gradual atau oligarki yang sudah menjadi pakem dalam sistem politik yang ada di
Indonesia.
Likuifikasi
dan Politik Machiavelli
Ramainya tensi politik menyongsong pilpres 2019 semakin
mempertajam aksi-aksi politisi dengan drama politiknya. Seperti yang disebutkan
sebelumnya drama yang dipertontonkan sangat bias apakah sebagai suatu setting
politik atau memang sebagai realistas politik yang terjadi. Setelah pilpres
yang masih tetap ditunggang oleh oligarki juga termasuk akan terjadinya
lukuifikasi politik. Memang term likuifikasi dikenal sebagai fenomena alam yang
terjadi ketikaa massa tanah mengalami sebuah desformasi yang mengakibatkan air
dibawah tanah kepermukaan dan merubah tanah menjadi lumpur.
Tetapi bila yang terjadi dalam politik, likuifikasi
sebagai fenomena menurunnya tingkat kejujuran dengan membuka peluang untuk
berperilaku bohong demi suatu tujuan politik. Kebohongan yang membabi buta
dengan sulitnya dilakukan klarifikasi akan memunculkan informasi hoax, kondisi ini sangat membahayakan pondisi
politik dalam negeri. Layaknya likuifikasi alam dengan amblasnya permukaan
tanah, maka hal yang sama juga akan terjadi di Indoensia bila berita hoax yang
muncul sangat banyak sampai sulit membedakan mana berita benar dan palsu. Kasus
yang terjadi belakang ini yang dilakukan Ratna Sarumpaet menjadi satu dari
beberapa kasus yang melakukan narasi palsu demi mendapat simpati dari masyarakat.
Hoax yang dibuat juga memakan korban pasangan Prabowo-Sandi yang tak lain calon
capres cawapres yang dia sendiri menjadi juru kampanyenya. Itulah mengapa Hoax
menjadi sangat berbahaya karena tidak mengenal kawan maupun lawan untuk menjadi
korban. Efek domino dari hoax adalah munculnya saling ketika percayaan antar masyarakat dan ini akan mengancam dari
sendi-sendi demokrasi (Fernandes, 2018).
Fenomena politik seperti yang banyak terjadi di Indonesia
yang akan menjurus pada politik Marchiavelli. Kita ketahui marchiavelli
merupaka suatu diskursus politik yang mengandalkan muslihat, tipuan dan dusta atau dengan
kata lain tujuan menghalakan cara (doel heillgt de middelen). Jika
melihat isi buku prencipe Marchiavelli menekankan bagaimana memisahkan politik
dengan nilai moralitas (Musthofa, 2018). Disini tentunya tidak hanya sebatas orang yang memiliki
kekuasaan dalam pemerintahan tetapi juga orang yang ingin merebut kekuasaan
dalam pemerintahan.
Disisi
lain perilaku politik yang
mengandalkan kebohongan yang dilakukan politisi bukan berarti mereka tidak
memahami perilaku bohong sebagai tindakan tak bermoral tetapi mereka terpaksa
melakukannya demi memuluskan tujuan politiknya. Bisa jadi dari semua kebohongan yang dilakukan
polisi sebagai seni politik atas praktik politik Machiavelli.
Prediski tema kampanye yang dilakukan tim pemenangan
khususnya di media sosial masih tetap memainkan isu SARA, ditambah hoax dan
dilengkapi kreativitas para haters untuk menjatuhkan pesaingnya. Maka lengkap
sudah tragedi likuifikasi politik benar-benar muncul di sistem politik
Indonesia.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan
bahwasanya pertama, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memang dibikin
drama bahwa negara sedang genting. Agar para elite bisa merampok orang kaya,
timses punya kesempatan mencopet dari elite, begitu seterusnya sampai bawah. Sebetulnya, dari
keseluruhan drama menjelang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil
presiden (cawapres), semua politikus, elite politik, akademisi, dll, sudah tahu apa yang akan
terjadi. Apa yang sedang ramai belakangan ini hanya drama yang dibikin
seakan-akan kondisi negara sedang genting. Kondisi yang sebenarnya dibikin
supaya semua bisa dapat keuntungan dari hajatan ini.
Kedua, Oligarki yang menjadi penumpang gelap dalam pilpres 2019
hanya akan lenyap bukan melalui
perubahan prosedur politik menjadi demokrasi, melainkan bila distribusi sumber
daya material yang sangat tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi
kekuasaan politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku. Oligarki yang terjadi memang awalnya sebagai penguasaan
sumber daya oleh beberapa aktor saja seperti yang diutarakan oleh Winters akan
tetapi penguasaan tersebut kemudian membentuk suatu relasi antar aktor kedalam
sistem politik yang ada, disitulah kemudian muncul oligarki yang dipaparkan
oleh Hadiz.
Ketiga, banyaknya drama yang
dibuat dengan mengedepankan hoax atau perilaku bohong akan membawa pada praktik
politik Marchiavelli. Praktik ini sangat
membahayakan bagi jalannya iklim politik dalam negeri karena etika politik
sudah tidak digunakan lagi. Sehingga yang muncul tidak ada rasa saling percaya
antar masyarakat dan akan berbuntut panjang pada jalannya demokrasi kita.
Daftar
Pustaka
Ford, Michele anda Thomas B Pepinsky, 2014. Beyond Oligarchy. New York: Cornell
University.
Halim, Abd. 2014. Politik
Lokal: Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya. Yogyakarta: LP2B.
Jeffrey A. Winters, Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Jefrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Majalah Prisma, no.
1, vol. 33, 2014, 14.
Vedi R Hadiz, Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Diterjemahkan
oleh A Zaim Rofiqi dan Dahris Setiawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), 149-150.
Yuki Fukuoka, “Oligarchy
and Democracy in Post-Soeharto”, Political Studies Review II, no.
I, 2013: 52-64.
https://geotimes.co.id/opini/hoaks-ratna-sarumpaet-dan-praktik-politik-machiavellian/
https://tirto.id/akhir-perjalanan-pks-dan-pan-kawal-ijtima-ulama-cRsr
https://tirto.id/apa-yang-bikin-politikus-doyan-gunakan-politik-uang-di-pemilu-cNT5
Komentar
Posting Komentar