Langsung ke konten utama

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh"

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh"
Makam Rosulullah S.A.W
Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Dalil Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam hal ini adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’ : 64).
Dalam ayat ini Allah menuntun kita apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsahdengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimohonkan ampun kepada Allah. Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:
وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى،
“Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Keterangan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa ketika kita punya hajat, seperti ingin diampuni oleh Allah atau hajat lainnya, maka kita melakukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh, lalu kita berdoa di sana. Ziarah dengan tujuan tabaruk di atas, jelas dilarang dan dianggap syirik oleh kaum Wahabi, meskipun dalilnya dari al-Qur’an dan pengamalan ulama salaf yang shaleh.
FAKTA-FAKTA BAHWA UMAT ISLAM MENGKERAMATKAN MAKAM PARA KEKASIH ALLAH SEJAK GENERASI SALAF YANG SHALEH
1. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha
Al-Imam al-Darimi meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ثَنَا سَعِيْدُ بْنِ زَيْدٍ ثَنَا عَمْرُو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا فَشَكَوْا إِلىَ عَائِشَةَ فَقَالَتْ اُنْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله علسه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كُوًّا إِلىَ السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ اْلإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّيَ عَامَ الْفَتْقِ اهـ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلىَ عَائِشَةَ.
“Abu al-Nu’man telah bercerita kepada kami: “Sa’id bin Zaid telah bercerita kepada kami: “Amr bin Malik al-Nukri telah bercerita kepada kami: “Abu al-Jauza’ Aus bin Abdullah telah bercerita kepada kami: seraya berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat parah. Lalu mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk, sehingga tahun itu disebut dengan tahun subur.”
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha menyuruh umat Islam kota Madinah pada waktu itu agar bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Salafi-Wahabi yang berpandangan bahwa bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk syirik yang mengeluarkan dari Islam, melakukan kecurangan ilmiah dalam menolak hadits shahih di atas sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh al-Albani dalam sebagian bukunya.
2. Al-Imam al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/767-819 M), mujtahid besar, pakar hadits dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, juga mengakui bolehnya ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan beliau berikut ini:
عَنْ عَلِي بْنِ مَيْمُوْنٍ قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رضي الله عنه يَقُوْلُ: إِنِّيْ َلأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِيْ زَائِرًا، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى. رواه الحافظ الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/123) بسند صحيح.
“Dari Ali bin Maimun, berkata: “Aku mendengar al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan shalat dua rekaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabul”.
3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/781-855 M), mujtahid besar, muhaddits terkemuka dan pendiri madzhab Hanbali –yang pura-pura diikuti oleh orang-orang Wahhabi di Saudi Arabia–, juga mengakui kebolehan dan bahkan kesunnatan ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau dalam kitab al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal (2/492), ketika menjawab pertanyaan tentang tabarruk berikut ini:
3242 – سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلىَ اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ. (الإمام أحمد في كتابه العلل ومعرفة الرجال، 2/492).
“3243. Aku bertanya kepada ayahanda, al-Imam Ahmad bin Hanbal, tentang seorang laki-laki mengusap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bermaksud tabarruk dengan mengusapnya itu, ia mencium mimbar itu, dan melakukan hal yang sama terhadap makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang seperti itu dengan maksud ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah – jalla wa ‘azza. Beliau menjawab: “Boleh”.
4. Al-Imam Abu Ali al-Khallal
Abu Ali al-Hasan bin Ibrahim al-Khallal, pemuka madzhab Hanbali pada masanya, juga membolehkan ber-tawassul dan ber-istighatsahdengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:
مَا هَمَّنِيْ أَمْرٌ فَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرٍ يَعْنِيْ الْكَاظِمَ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ إِلاَّ سَهَّلَ اللهُ لِيْ مَا أُحِبُّ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/120).
“Setiap aku mengalami kesulitan, lalu aku mendatangi makam Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq, dan aku bertawassul dengannya, pasti Allah memudahkan apa yang aku inginkan.”
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) dalam Tarikh Baghdad (1/120).
5. Al-Hafizh Ibn Khuzaimah
Al-Hafizh Abu Bakar bin Khuzaimah (223-311 H/838-924 M), yang dijuluki Imam al-Aimmah (pemimpin para imam) dan pengarang Shahih Ibn Khuzaimah melakukan tabaruk dengan Sayyid Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim. Abu Bakar bin al-Mu’ammal berkata:
خَرَجْنَا مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ أَبِيْ بَكْرٍ بْنِ خُزَيْمَةَ وَعَدِيْلِهِ أَبِيْ عَلِي الثَّقَفِيِّ مَعَ جَمَاعَةٍ مِنْ مَشَايِخِنَا وَهُمْ إِذْ ذَاكَ مُتَوَافِرُوْنَ إِلَى زِيَارَةِ قَبْرِ عَلِي بْنِ مُوْسَى الرِّضَا بِطُوْس قَالَ: فَرَأَيْتُ مِنْ تَعْظِيْمِهِ يَعْنِي ابْنُ خُزَيْمَةَ لِتِلْكَ الْبُقْعَةِ وَتَوَاضُعِهِ لَهَا وَتَضَرُّعِهِ عِنْدَهَا مَا تَحَيَّرْنَا. رواه الحافظ في تهذيب التهذيب (7/339).
“Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya al-Hafizh Abu Ali al-Tsaqafi beserta rombongan beberapa guru kami, yang begitu banyak, untuk berziarah ke makam Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim di Thus. Ia (Abu Bakar bin al-Mu’ammal) berkata: “Aku melihat ke-ta’zhim-an beliau (Ibn Khuzaimah) terhadap makam itu, serta sikap tawadhu’ terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu’ di sisi makam itu, sampai membuat kami bingung”.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib (7/339).
6. Tiga Orang Hafizh; al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri’
Tiga orang hafizh dan muhaddits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aku bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
7. Ibrahim al-Harbi
Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (198-285 H/813-898 M), seorang hafizh, faqih dan mujtahid, oleh para ulama disejajarkan dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmunya. Ia juga salah satu tokoh mazhab Hanbali pada masanya. Ia membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:
قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: قَبْرُ مَعْرُوْفٍ يَعْنِي الْكَرَخِيَّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/122)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1494).
“Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Ma’ruf al-Karakhi adalah obat penawar yang mujarab (Maksudnya, datangilah makam Ma’ruf al-Karakhi, karena berdoa di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan)”.
Perkataan Ibrahim al-Harbi ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/122), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1494) dan disebutkan di beberapa kitab fiqih Hanbali yang mu’tabar.
8. Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi
Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-Naisaburi (277-349 H/900-961 M), hafizh besar, pemimpin ahli hadits yang disepakati pada masanya. Beliau termasuk guru utama al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak. Beliau membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan riwayat berikut ini:
قَالَ الْحَاكِمُ: سَمِعْتُ الْحَافِظَ أَبَا عَلِيٍّ النَّيْسَابُوْرِيَّ يَقُوْلُ: كُنْتُ فِيْ غَمٍّ شَدِيْدٍ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامَ كَأَنَّهُ يَقُوْلُ لِيْ: صِرْ إِلَى قَبْرِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى وَاسْتَغْفِرْ وَسَلْ تُقْضَ حَاجَتُكَ، فَأَصْبَحْتُ فَفَعَلْتُ ذَلكَ فَقُضِيَتْ حَاجَتِيْ. رواه الحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1756) والحافظ ابن حجر في تهذيب التهذيب (11/261).
“Al-Imam al-Hakim berkata: “Aku mendengar al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi berkata: “Suatu ketika aku dalam kesusahan yang mendalam. Lalu aku bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau berkata kepadaku: “Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/759-840 M), bacalah istighfar dan berdoalah kepada Allah, nanti hajatmu akan dikabulkan”. Pagi harinya, aku lakukan hal itu, lalu hajatku segera terkabul.”
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1756) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib (11/261).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ber-tabarruk dan ber-tawassul dengan orang yang sudah meninggal dibolehkan oleh al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak, al-Hafizh al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibn Hajar.
9. Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi
Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (541-600 H/1146-1204 M), seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Hanbali. Karyanya yang berjudul ‘Umdat al-Ahkam menjadi kajian utama kalangan Wahhabi di Saudi Arabia. Ia membolehkan ber-tabarruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ الْحُجَّةُ ضِيَاءُ الدِّيْنِ الْمَقْدِسِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: سَمِعْتُ الشَّيْخَ اْلإِمَامَ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ الْغَنِيِّ بْنَ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيَّ يَقُوْلُ: خَرَجَ فِيْ عَضُدِيْ شَيْءٌ يُشْبِهُ الدُّمَّلَ، وَكَانَ يَبْرَأُ ثُمَّ يَعُوْدُ، وَدَامَ ذَلِكَ زَمَنًا طَوِيْلاً، فَسَافَرْتُ إِلَى أَصْبِهَانَ، وَعُدْتُ إِلَى بَغْدَادَ وَهُوَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، فَمَضَيْتُ إِلَى قَبْرِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رضي الله عنه وَمَسَحْتُ بِهِ الْقَبْرَ فَبَرَأَ وَلَمْ يَعُدْ. (الإمام الحافظ الحجة ضياء الدين المقدسي في الحكايات المنثورة (3834).
“Al-Imam al-Hujjah Dhiyauddin al-Maqdisi berkata: “Aku mendengar al-Syaikh al-Imam Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi berkata: “Lenganku terserang penyakit seperti bisul. Penyakit itu pernah sembuh tetapi kemudian kambuh lagi. Dan lama sekali tidak sembuh-sembuh. Kemudian aku pergi ke Ashbihan dan kembali ke Baghdad dalam keadaan belum sembuh. Lalu aku pergi ke makam al-Imam Ahmad bin Hanbal – radhiyallahu ‘anhu -, dan aku usapkan lenganku yang sakit itu ke makam beliau. Ternyata setelah itu sembuh dan tidak kambuh lagi”.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Dhiyauddin al-Maqdisi dalam kitabnya al-Hikayat al-Mantsurah (3834).
10. Abu al-Khair al-Aqtha’
Al-Imam Abu al-Khair al-Aqtha’ al-Tinati (229-349 H/769-961 M), seorang ulama shufi terkemuka dan murid al-Imam Abu Abdillah bin al-Jalla’, melakukan, tabaruk tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
قَالَ أَبُو الْخَيْر اْلأَقْطَعُ: دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوْقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ فَنِمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ وَإِذًا فِي يَدِيْ نِصْفُ رَغِيْفٍ، رواه الإمام الحافظ السلمي في طبقات الصوفية (ص/382) والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة (4/284) والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق (66/161)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (2632)، والحافظ السخاوي في القول البديع (ص/160) والعارف الشعراني في الطبقات الكبرى (1/109).
“Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sangat lapar. Lalu saya berkata: “Aku bertamu kepadamu wahai Rasulullah”. Lalu aku agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Dalam tidur aku bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku cium antara kedua mata beliau dan beliau memberiku sepotong roti. Lalu aku makan roti itu separuh. Lalu aku terbangun, dan ternyata di tanganku tersisa separuh roti itu”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyyah (hal. 382), al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam Shifat al-Shafawah (4/283), al-Hafizh Ibn ’Asakir dalam Tarikh Dimasyq (66/161), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 2632), al-HafTernyata Mengkeramatkan Makam Itu "Boleh"
Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Dalil Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam hal ini adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’ : 64).
Dalam ayat ini Allah menuntun kita apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsahdengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimohonkan ampun kepada Allah. Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:
وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى،
“Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Keterangan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa ketika kita punya hajat, seperti ingin diampuni oleh Allah atau hajat lainnya, maka kita melakukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh, lalu kita berdoa di sana. Ziarah dengan tujuan tabaruk di atas, jelas dilarang dan dianggap syirik oleh kaum Wahabi, meskipun dalilnya dari al-Qur’an dan pengamalan ulama salaf yang shaleh.
FAKTA-FAKTA BAHWA UMAT ISLAM MENGKERAMATKAN MAKAM PARA KEKASIH ALLAH SEJAK GENERASI SALAF YANG SHALEH
1. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha
Al-Imam al-Darimi meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ثَنَا سَعِيْدُ بْنِ زَيْدٍ ثَنَا عَمْرُو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا فَشَكَوْا إِلىَ عَائِشَةَ فَقَالَتْ اُنْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله علسه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كُوًّا إِلىَ السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ اْلإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّيَ عَامَ الْفَتْقِ اهـ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلىَ عَائِشَةَ.
“Abu al-Nu’man telah bercerita kepada kami: “Sa’id bin Zaid telah bercerita kepada kami: “Amr bin Malik al-Nukri telah bercerita kepada kami: “Abu al-Jauza’ Aus bin Abdullah telah bercerita kepada kami: seraya berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat parah. Lalu mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk, sehingga tahun itu disebut dengan tahun subur.”
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha menyuruh umat Islam kota Madinah pada waktu itu agar bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Salafi-Wahabi yang berpandangan bahwa bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk syirik yang mengeluarkan dari Islam, melakukan kecurangan ilmiah dalam menolak hadits shahih di atas sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh al-Albani dalam sebagian bukunya.
2. Al-Imam al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/767-819 M), mujtahid besar, pakar hadits dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, juga mengakui bolehnya ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan beliau berikut ini:
عَنْ عَلِي بْنِ مَيْمُوْنٍ قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رضي الله عنه يَقُوْلُ: إِنِّيْ َلأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِيْ زَائِرًا، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى. رواه الحافظ الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/123) بسند صحيح.
“Dari Ali bin Maimun, berkata: “Aku mendengar al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan shalat dua rekaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabul”.
3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/781-855 M), mujtahid besar, muhaddits terkemuka dan pendiri madzhab Hanbali –yang pura-pura diikuti oleh orang-orang Wahhabi di Saudi Arabia–, juga mengakui kebolehan dan bahkan kesunnatan ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau dalam kitab al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal (2/492), ketika menjawab pertanyaan tentang tabarruk berikut ini:
3242 – سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلىَ اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ. (الإمام أحمد في كتابه العلل ومعرفة الرجال، 2/492).
“3243. Aku bertanya kepada ayahanda, al-Imam Ahmad bin Hanbal, tentang seorang laki-laki mengusap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bermaksud tabarruk dengan mengusapnya itu, ia mencium mimbar itu, dan melakukan hal yang sama terhadap makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang seperti itu dengan maksud ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah – jalla wa ‘azza. Beliau menjawab: “Boleh”.
4. Al-Imam Abu Ali al-Khallal
Abu Ali al-Hasan bin Ibrahim al-Khallal, pemuka madzhab Hanbali pada masanya, juga membolehkan ber-tawassul dan ber-istighatsahdengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:
مَا هَمَّنِيْ أَمْرٌ فَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرٍ يَعْنِيْ الْكَاظِمَ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ إِلاَّ سَهَّلَ اللهُ لِيْ مَا أُحِبُّ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/120).
“Setiap aku mengalami kesulitan, lalu aku mendatangi makam Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq, dan aku bertawassul dengannya, pasti Allah memudahkan apa yang aku inginkan.”
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) dalam Tarikh Baghdad (1/120).
5. Al-Hafizh Ibn Khuzaimah
Al-Hafizh Abu Bakar bin Khuzaimah (223-311 H/838-924 M), yang dijuluki Imam al-Aimmah (pemimpin para imam) dan pengarang Shahih Ibn Khuzaimah melakukan tabaruk dengan Sayyid Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim. Abu Bakar bin al-Mu’ammal berkata:
خَرَجْنَا مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ أَبِيْ بَكْرٍ بْنِ خُزَيْمَةَ وَعَدِيْلِهِ أَبِيْ عَلِي الثَّقَفِيِّ مَعَ جَمَاعَةٍ مِنْ مَشَايِخِنَا وَهُمْ إِذْ ذَاكَ مُتَوَافِرُوْنَ إِلَى زِيَارَةِ قَبْرِ عَلِي بْنِ مُوْسَى الرِّضَا بِطُوْس قَالَ: فَرَأَيْتُ مِنْ تَعْظِيْمِهِ يَعْنِي ابْنُ خُزَيْمَةَ لِتِلْكَ الْبُقْعَةِ وَتَوَاضُعِهِ لَهَا وَتَضَرُّعِهِ عِنْدَهَا مَا تَحَيَّرْنَا. رواه الحافظ في تهذيب التهذيب (7/339).
“Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya al-Hafizh Abu Ali al-Tsaqafi beserta rombongan beberapa guru kami, yang begitu banyak, untuk berziarah ke makam Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim di Thus. Ia (Abu Bakar bin al-Mu’ammal) berkata: “Aku melihat ke-ta’zhim-an beliau (Ibn Khuzaimah) terhadap makam itu, serta sikap tawadhu’ terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu’ di sisi makam itu, sampai membuat kami bingung”.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib (7/339).
6. Tiga Orang Hafizh; al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri’
Tiga orang hafizh dan muhaddits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aku bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
7. Ibrahim al-Harbi
Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (198-285 H/813-898 M), seorang hafizh, faqih dan mujtahid, oleh para ulama disejajarkan dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmunya. Ia juga salah satu tokoh mazhab Hanbali pada masanya. Ia membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:
قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: قَبْرُ مَعْرُوْفٍ يَعْنِي الْكَرَخِيَّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/122)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1494).
“Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Ma’ruf al-Karakhi adalah obat penawar yang mujarab (Maksudnya, datangilah makam Ma’ruf al-Karakhi, karena berdoa di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan)”.
Perkataan Ibrahim al-Harbi ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/122), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1494) dan disebutkan di beberapa kitab fiqih Hanbali yang mu’tabar.
8. Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi
Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-Naisaburi (277-349 H/900-961 M), hafizh besar, pemimpin ahli hadits yang disepakati pada masanya. Beliau termasuk guru utama al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak. Beliau membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan riwayat berikut ini:
قَالَ الْحَاكِمُ: سَمِعْتُ الْحَافِظَ أَبَا عَلِيٍّ النَّيْسَابُوْرِيَّ يَقُوْلُ: كُنْتُ فِيْ غَمٍّ شَدِيْدٍ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامَ كَأَنَّهُ يَقُوْلُ لِيْ: صِرْ إِلَى قَبْرِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى وَاسْتَغْفِرْ وَسَلْ تُقْضَ حَاجَتُكَ، فَأَصْبَحْتُ فَفَعَلْتُ ذَلكَ فَقُضِيَتْ حَاجَتِيْ. رواه الحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1756) والحافظ ابن حجر في تهذيب التهذيب (11/261).
“Al-Imam al-Hakim berkata: “Aku mendengar al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi berkata: “Suatu ketika aku dalam kesusahan yang mendalam. Lalu aku bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau berkata kepadaku: “Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/759-840 M), bacalah istighfar dan berdoalah kepada Allah, nanti hajatmu akan dikabulkan”. Pagi harinya, aku lakukan hal itu, lalu hajatku segera terkabul.”
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1756) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib (11/261).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ber-tabarruk dan ber-tawassul dengan orang yang sudah meninggal dibolehkan oleh al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak, al-Hafizh al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibn Hajar.
9. Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi
Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (541-600 H/1146-1204 M), seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Hanbali. Karyanya yang berjudul ‘Umdat al-Ahkam menjadi kajian utama kalangan Wahhabi di Saudi Arabia. Ia membolehkan ber-tabarruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ الْحُجَّةُ ضِيَاءُ الدِّيْنِ الْمَقْدِسِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: سَمِعْتُ الشَّيْخَ اْلإِمَامَ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ الْغَنِيِّ بْنَ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيَّ يَقُوْلُ: خَرَجَ فِيْ عَضُدِيْ شَيْءٌ يُشْبِهُ الدُّمَّلَ، وَكَانَ يَبْرَأُ ثُمَّ يَعُوْدُ، وَدَامَ ذَلِكَ زَمَنًا طَوِيْلاً، فَسَافَرْتُ إِلَى أَصْبِهَانَ، وَعُدْتُ إِلَى بَغْدَادَ وَهُوَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، فَمَضَيْتُ إِلَى قَبْرِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رضي الله عنه وَمَسَحْتُ بِهِ الْقَبْرَ فَبَرَأَ وَلَمْ يَعُدْ. (الإمام الحافظ الحجة ضياء الدين المقدسي في الحكايات المنثورة (3834).
“Al-Imam al-Hujjah Dhiyauddin al-Maqdisi berkata: “Aku mendengar al-Syaikh al-Imam Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi berkata: “Lenganku terserang penyakit seperti bisul. Penyakit itu pernah sembuh tetapi kemudian kambuh lagi. Dan lama sekali tidak sembuh-sembuh. Kemudian aku pergi ke Ashbihan dan kembali ke Baghdad dalam keadaan belum sembuh. Lalu aku pergi ke makam al-Imam Ahmad bin Hanbal – radhiyallahu ‘anhu -, dan aku usapkan lenganku yang sakit itu ke makam beliau. Ternyata setelah itu sembuh dan tidak kambuh lagi”.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Dhiyauddin al-Maqdisi dalam kitabnya al-Hikayat al-Mantsurah (3834).
10. Abu al-Khair al-Aqtha’
Al-Imam Abu al-Khair al-Aqtha’ al-Tinati (229-349 H/769-961 M), seorang ulama shufi terkemuka dan murid al-Imam Abu Abdillah bin al-Jalla’, melakukan, tabaruk tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
قَالَ أَبُو الْخَيْر اْلأَقْطَعُ: دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوْقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ فَنِمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ وَإِذًا فِي يَدِيْ نِصْفُ رَغِيْفٍ، رواه الإمام الحافظ السلمي في طبقات الصوفية (ص/382) والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة (4/284) والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق (66/161)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (2632)، والحافظ السخاوي في القول البديع (ص/160) والعارف الشعراني في الطبقات الكبرى (1/109).
“Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sangat lapar. Lalu saya berkata: “Aku bertamu kepadamu wahai Rasulullah”. Lalu aku agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Dalam tidur aku bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku cium antara kedua mata beliau dan beliau memberiku sepotong roti. Lalu aku makan roti itu separuh. Lalu aku terbangun, dan ternyata di tanganku tersisa separuh roti itu”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyyah (hal. 382), al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam Shifat al-Shafawah (4/283), al-Hafizh Ibn ’Asakir dalam Tarikh Dimasyq (66/161), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 2632), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 160), al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra (1/109) dan lain-lain.
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa mengkeramatkan makam para kekasih Allah dalam arti bertabaruk dengan makam tersebut, seperti makam para nabi, para wali, orang shaleh dan para ulama telah disepakati, diamalkan dan dianjurkan oleh seluruh ulama salaf yang saleh, yang di antaranya adalah para imam mazhab empat; al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad dan diikuti oleh para ulama ahli hadits dari kalangan huffazh seperti Ibn Khuzaimah, al-Thabarani, Abu al-Syaikh, Ibn al-Muqri’, al-Maqdisi, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain. Dan masih terdapat ratusan riwayat lagi tentang mengkeramatkan makam para kekasih Allah dan diriwayatkan oleh para pakar hadits dan sejarah.
Bahkan al-Imam al-Lalaka’iy menegaskan, bahwa tanda-tanda ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah, makam mereka keramat, senantiasa diziarahi orang. Al-Lalaka’iy berkata:
وَقُبُورُهُمْ مُزَارَةٌ،… يُزَارُونَ فِي قُبُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ فِي بُيُوتِهِمْ، لِيَنْشُرَ اللهُ لَهُمْ بَعْدَ مَوْتِهِمُ الأَعْلَامَ حَتَّى لا تَنْدَرِسَ أَذْكَارُهُمْ عَلَى الأَعْوَامِ، وَلا تَبْلَى أَسَامِيهِمْ عَلَى مَرِّ الأَيَّامِ. فَرَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ وَرِضْوَانُهُ، وَجَمَعَنَا وَإِيَّاهُمْ فِي دَارِ السَّلامِ.
“Makam mereka selalu diziarahi. … Mereka selalu diziarahi di makam mereka, seakan-akan mereka masih hidup, agar supaya Allah menyebarkan reputasi mereka setelah meninggal dunia, sehingga kenangan mereka tidak hilang dalam perjalanan tahun, nama mereka tidak rusak dalam perjalanan hari. Semoga Allah mengasihi dan meridhai mereka. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka di surga Darussalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juz 1 hlm 26).


Semoga Allah memberikan hidayah kepada kami dan Anda sekalian, amin. Wallahu a’lam.izh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 160), al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra (1/109) dan lain-lain.
Makam Sunan Kalijogo
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa mengkeramatkan makam para kekasih Allah dalam arti bertabaruk dengan makam tersebut, seperti makam para nabi, para wali, orang shaleh dan para ulama telah disepakati, diamalkan dan dianjurkan oleh seluruh ulama salaf yang saleh, yang di antaranya adalah para imam mazhab empat; al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad dan diikuti oleh para ulama ahli hadits dari kalangan huffazh seperti Ibn Khuzaimah, al-Thabarani, Abu al-Syaikh, Ibn al-Muqri’, al-Maqdisi, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain. Dan masih terdapat ratusan riwayat lagi tentang mengkeramatkan makam para kekasih Allah dan diriwayatkan oleh para pakar hadits dan sejarah.
Bahkan al-Imam al-Lalaka’iy menegaskan, bahwa tanda-tanda ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah, makam mereka keramat, senantiasa diziarahi orang. Al-Lalaka’iy berkata:
وَقُبُورُهُمْ مُزَارَةٌ،… يُزَارُونَ فِي قُبُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ فِي بُيُوتِهِمْ، لِيَنْشُرَ اللهُ لَهُمْ بَعْدَ مَوْتِهِمُ الأَعْلَامَ حَتَّى لا تَنْدَرِسَ أَذْكَارُهُمْ عَلَى الأَعْوَامِ، وَلا تَبْلَى أَسَامِيهِمْ عَلَى مَرِّ الأَيَّامِ. فَرَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ وَرِضْوَانُهُ، وَجَمَعَنَا وَإِيَّاهُمْ فِي دَارِ السَّلامِ.
“Makam mereka selalu diziarahi. … Mereka selalu diziarahi di makam mereka, seakan-akan mereka masih hidup, agar supaya Allah menyebarkan reputasi mereka setelah meninggal dunia, sehingga kenangan mereka tidak hilang dalam perjalanan tahun, nama mereka tidak rusak dalam perjalanan hari. Semoga Allah mengasihi dan meridhai mereka. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka di surga Darussalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juz 1 hlm 26).


Semoga Allah memberikan hidayah kepada kami dan Anda sekalian, amin. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi Oplosan ala Soekarno

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi  Oplosan  ala Soekarno Rasa jenuh pastinya menggelanyut diperasaan setiap masyarakat Indonesia jika memandang situasi  pemerintahan di Jakarta. Hal ini tak lepas media yang selalu memberitakan tayangan kisruh para elit politik kepada masyarakat. Kisruh yang tak kunjung usai setia mengiringi pemeritahan Jokowi-JK sejak dilatik pertengahan oktober 2014 silam. Keadaan ini diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menembus angka Rp.13.150, terburuk pasca reformasi. Harga  BBM yang tiap bulannya naik turun  diikuti melambungnya harga sembako yang kian hari semakin membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama bagi mereka kelas menengah kebawah. Perbedaan mencolok kemampuan ekonomi masyarakat juga menambah gap antara si kaya dengan miskin semakin lebar.  Perhatian serius harus ditekankan pada masa-masa transisi seperti ini karena hal yang tak mungkin bisa terjadi. Akibat dari rasa frustrasi masyarakat yang akut aka

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pembedaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pemberdaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia Abstrak Civil society atau masyarakat sipil merupakan komponen penyeimbang dari kekuasaan negara. Gerakan ini muncul melalui keinginan dan tuntutan hak dari masyarakat kepada pihak pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Oleh karenanya untuk mewujudkan tuntutan tersebut maka masyarakat membutuhkan alat untuk mengekspresikan dan menyalurakan keinginanya kepada penguasa. Kehadiran NU sebagai jam’iyyah dinniyah memberikan warna sebagai perantara untuk mendapingi masyarakat dalam berhubungan dengan hegemoni negara. Tugas organisasi NU juga sebagai pemberdaya masyarakat dalam menghadapi permaslahan-permaslahan yang muncul dikehidpan sosial menempatkan organisasi warga nahdliyyin tersebut menjadi salah satu ruh berdirinya NKRI secara seimbang baik menjasi social control maupun social engeneering. Pendahuluan              Civil socety   atau  masyarakat sipil merupakan sebuah bentuk gerakan