Indonesia, Demokrasi Latah atau
Latah Demokrasi?
Pertama kita akan
mendudukan terlebih dahulu perbedaan demokrasi latah dan latah demokrasi. Pada
dasarnya demokrasi latah merupakan ungkapan bahwa konsep demokrasi yang tidak
bisa selamanya memaknai dirinya sendiri. Demokrasi latah sering mengalami kawin
campur dengan sistem politik lain sehingga tidak menghadirkan konsep yang paten.
Sedangkan latah demokrasi lebih kepada proses pemahaman manusia yang terlalu
mendikte pada teori dan pernyataan demokrasi yang ditafsirkan oleh orang luar
negeri sana. Sehingga demokrasi cenderung dimaknai secara tekstual dan kurang
mengakar. Dalam artian di Indonesia pada umumnya hanya menyomot nilai-nilai
universal demokrasi yang cenderung common
sense. Bisa jadi sebagai bentuk ekpresi cita-cita yang ingin dicapai atau
memang hanya sebatas perilaku ikut-ikutan supaya bisa dianggap sebagai Negara
keren terpandang dimata Negara-negara barat. Jadi perbedaanya demokrasi latah
dan latah demokrasi terletak pada menempatkan demokrasi sebagai subjek ataupun
sebagai objek.
Pengelompokan dua arus utama demokrasi latah dan latah
demokrasi ini menjadi mayoritas yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Bagi
demokrasi latah mereka memandang demokrasi sebatas konsep
yang perlu ditafsiri bisa juga dikatakan sebagi demokrasi secara norma. Arus kedua latah akan demokrasi lebih kepada gagalnya
membuka nalar kriris terhadap demokrasi yang sedang berkembang di dunia. Salah
satu hal yang membuat kelatahan terjadi ketika menegasikan sitem politik selain
demokrasi merupakan sistem yang sangat kaku dengan mengebiri hal-hak politik
masyarakat, penyelewengan kekuasaan, memberangus hak asasi manusia. Pemahaman
atau dokrin sempit inilah yang sering disosialisasikan oleh para agen demokrasi
untuk membuat masyarakat tidak lagi bisa berpikir secara logis. Lantas kemudian
menolak semua konsep yang ada diluar demokrasi. Kelompok ini selalu saja
berkiblat kepada Negara-negara adi kuasa yang sebenarnya memiliki karakter
budaya bangsa yang berbeda.
Demokrasi jika ditarik
dari kekuatan Negara pada intinya upaya untuk menciptakan kesimbangan antar
lembaga Negara melalui konsep (trias
politica). Kalau meminjam istilah Montesqiue pemusatan kekuasaaan kepada
satu tangan hanya akan menciptakan penguasa tiran. Disini kemudian Negara berusaha
memberikan jalan tengah dengan membagi kekuatan secara merata kepada lembaga
yang ada. Walaupun dalam perkembangannya muncul kekuatan baru yang independen
tidak terikat oleh negara diluar konsep trias
politica semacam KPK, Ombudsman, Komnas HAM dan komisi lainnya.
Lalu bagaimana kondisi
demokrasi di Indonesia? Secara garis besar Indonesia terbagi kedalam 3 kelompok
yang salah duanya merupakan arus utama yang saya sebutkan diatas. Kelompok arus
ketiga mereka yang yang lebih kritis terhadap wacana demokrasi terkadang sebagian
cenderung menolak. Kelompok ketiga ini memiliki dua varian yang berbeda,
setidaknya mereka mengakui demokrasi sebagai salah satu konsep sistem politik
yang lebih sedikit kekurangannya dibanding konsep sistem pemerintah diluar demokrasi.
Akan tetapi kelompok ini menyadari bahwasannya tidak menutup kemungkinan sistem
politik selain demokrasi sebenarnya sama-sama memperjuangkan nilai yang hampir
sama memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti jaminan keamanan,
kesejaheraan, hak-hak politik, keadilan, kesetaraan dan nilai baik lainnya.
Sebaliknya varian kelompok ketiga yang satunya secara
tegas lebih memilih konsep pemerintahan yang orisnil dalam artian konsep yang pure dari agama. Karena menganggap
sistem demokrasi buka produk dari Islam, oleh karenanya tida sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh syariat. Mereka lebih memilih konsep syura atau konsep yang
mengedepankan sumber kedaulatan hukum dari Tuhan. Padahal sejatinya konsep
syuro dan demokrasi memiliki kesamaan meski pada titik tertentu tidak bisa
dipersamakan.
Sebenarnya terdapat strata sosial tersendiri yang muncul ketika mengelompokan cara masyarakat
memahami hakekat demokrasi di Indonesia. Kelas ameteur
merupakan kelas bagi mereka yang memahami demokrasi sebatas pada kebebasan hak
bersuara, mencoblos atau dicoblos hehehe atau halusnya memilih dan dipilih. Contoh
riil di lapangan yaitu masyarakat pada umumnya yang mengenal demokrasi pada
tata cara prosedural pilkades, pilkada atau pilpres.
Kelas selanjutnya tingkat beginner, kelas ini terkadang juga bertindak tidak hanya sebatas
tapi melebihi batas dalam menggunakan hak kebebasan bersuara dengan melanggar
aturan yang ada. Aturan ynag dimaksud adalah norma dan jati diri Indonesia pada
umumnya. Ecap kali kelompok ini lebih terlihat kebablasan memaknai demokrasi
dengan menafsirkan kebebasan dengan sebebas-bebasnya dengan sebutan lain
kebebasan seenak udelnya. Nah maksud
dari jati diri bangsa Indonesia sendiri maksudnya bagaimana? Tentunya arti
sebenarnya pola tindak tanduk yang lebih mengedepankan penghormatan kepada hak orang
lain terutama sopan santun, ramah dan toleran.
Tingkat ketiga diisi oleh para kelas reguler, yakni mereka yang sedang memahami konsep dasar demokrasi itu sendiri. Kelompok
ini mencoba menguliti tentang esensi dari demokrasi dan berusaha menerapkannya
dalam sendi-sendi kehidupan bernegara. Bila diberi julukan mereka ini kacungnya
demokrasi heheh karena berusaha mendalami, menerima dan menyebarkan konsep
demokrasi.
Tingkat keempat yakni profesional bagi mereka yang para ahli yang sudah ngelotok kering tentang masalah
demokrasi. Tingkatan ini bisa dikatakan sekelas dosen
atau akademisi yang menjadi
lokomotif dari kelas regular untuk memperdalam nilai demokrasi. Akan tetapi
kebanyakan mereka kelas profesional hanya sebatas ngelotok materinya tapi kering dalam merubah kondisi demokrasi yang
sejatinya demokrasi.
Idealnya Demokrasi di Indonesia
Berbicara ideal demokrasi sejatinya cukup reweuh menjelaskannya karena sejak awal
kemunculannya memiliki intreprestasi masing-masing. Tetapi tidak menutup
kemungkinan terdapat proses kesamaan jika ditarik dari nilai-nilai yang
terkandung dalam demokrasi. Hanya saja kita tidak boleh latah memaknai
demokrasi itu sendiri, seolah-olah demokrasi sebagai juru selamat. Bila
terdapat golongan garis keras mungkin seboyannya, urip mati yo demokrasi!!! Disini perlu upaya pencarian makna
demokrasi secara utuh. Jangan sampai kekolotan yang muncul membuat kita membabi
buta memperjuangkan demokrasi dengan menganggap kritikan terhadapnya sebagai
penentang dan masuk dalam kelompok anti pengakuan hak asasi manusia
termasuk didalamnya kebebasan berserikat para
jomlowan jomlowati club.
Bagaimana cara kita mengorek nilai budaya yang ada di setiap penjuru Indonesia. Tidak menutup
kemungkinan banyak nilai yang ada dalam setiap kehidupan bermasyarakat di
Indoensia sudah menerapkan nilai-nilai yang ada dalam demokrasi. Hanya saja
kita kerap kali gak
ngeh
atas realitas sosial yang terjadi. Kita lebih terpukau dengan apa yang
dilakukan, dikonsepkan oleh orang-orang diluar sana. Sehingga ketika mereka
demokrasi A maka kita tanpa sadar ikut meneriakkan A, ketika mereka berbalik
meneriakkan B maka kita juga ikut teriak B. memang benar apa yang dikatakan oleh
Ibn Khaldun bahwa terdapat kecenderung seseorang mengikuti tradisi pihak yang
menang. Apakah kita berada dipihak yang kalah? Jawabnya bisa jadi iya dan bisa
juga tidak,
tetapi yang jelas latah.
Usaha untuk berani kreatif dengan mengkonsep demokrasi
ala Indonesia, jangan sampai orang Indonesia kehilangan ruhnya sebagai orang
Indonesia. Tentunya demokrasi hanya sebatas istilah yang dicangkok dari luar
tapi dalemannya memiliki nilai ke-Indonesia-an. Hal ini sudah sangat lama dipraktikan oleh masyarakat
Indonesia sebelum demokrasi impor masuk menjadi komuditi yang laris dijual. Lagi-lagi
kita saja yang ndak pede.
Dalam hal ini demokrasi di Indonesia tidak hanya terletak
pada kebebasan individu akan tetapi lebih pada keharmonisan hidup berdampingan.
Disinilah letak esensi dari demokrasi ala Indonesia yang tidak tekstual tapi
melihat sosio-kultural yang ada pada masyarakat (kearifan lokal). Contoh saja ketika
terjadi perselisihan musyawarah menjadi solusi dengan ditemani sebatang rokok
dan segelas kopi tinggal pilih mau pakai gula atau asli biji kopi. Sebab yang
pasti penggunaan voting dalam mencari
jalan keluar kerap kali menimbulkan luka bukan legawa.
Dalam beberapa kasus masyarakat di pedesaan masih
menggunakan asas permusyawaratan yang bersifat kolektivitas. Semisal di desa
daerah Jawa masih menggunakan rembug desa, di Sumatera Barat menggunakan
Karapatan Adat Nagari, Saniri Negeri di Maluku, Kakupulan di Lampung, Paruman
di Bali dan beberapa istilah yang ada di daerah lain. Inilah yang dimaksud
demokrasi ala Indonesia. Demokrasi yang tidak tidak terlalu muluk dalam konsep
tetapi praksis dalam tindakan.
Seharusnya sudah menjadi kebanggaan tersendiri sebagai
warga Indonesia. Memiliki produk demokrasi asli dalam negeri, bukan tampang
minder mental inlander. Takut dikatakan ndeso, udik, gak gaul lantas membuat
kita menjadi latah. Biarlah dikata tampang Boyolali, tampang Wonogiri gara-gara
tidak ikut konsep demokrasi standar ganda luar negeri. Bukan malah baper terus lakukan aksi.
Begitu juga demokrasi Pancasila paling tidak pernah
menjadi pijakan bagi masyarakat Indonesia bukan yang liberal atau terpimpin. Demokrasi
Pancasila pelaksanaannya menggunakan asas musyawarah untuk mencapai mufakat
demi mencapai kepentingan bersama. Bukan penguasaan mayoritas oleh sekelompok
minoritas atau individu. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong.
Seharusnya idealnya demikian, meskipun realitanya jauh panggang dari api, dekat
dipandang tapi tak memiliki, karena beberapa kali Demokrasi Pancasila tetap
saja dikangkangi oleh rakyatnya sendiri lebih-lebih oleh rezim yang berkuasa.
Komentar
Posting Komentar