Politik Identitas:
Aksi 212 dalam Politik Electoral di Indonesia
MT
Gerakan massa Islam dalam percaturan elektoral nasional
tidak bisa dianggap sebelah mata lagi. Aksi yang di kenal 212 ini mampu
menghimpun ratusan ribu massa dalam satu acara menjadi kasus yang menarik. Aksi
ini menjadi bagian social movement
yang diklaim memperjuangkan kepentingan dari sebagian umat Islam di Indonesia.
Aksi ini menjadi agenda rutin setiap bulan Desember, setelah sukses menjalankan
agenda Aksi Bela Islam sebelumnya sebanyak 6 jilid berturut-turut. Agenda tersebut tak lain untuk mengkriminalisasikan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) atas
tuduhan penistaan agama pada tahun 2016 sampai 2017 silam. Kini aksi massa
kembali digelar dengan tajuk reuni 212 yang juga dipusatkan di Monas. Penamaan
aksi 212 merujuk pada aksi puncak yang dihadiri ratusan ribu orang bahkan
beberapa versi menyebutkan jutaan sebagai kelanjutan perjuangan aspirasi massa
aksi bela Islam 212 awal bulan Desember 2016 lalu.
Aksi 212 awalnya dimotori oleh Gerakan Nasional Pengawal
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF- MUI) dengan sokongan beberapa ormas Islam
baik dari FPI, FUI, HTI, DDII dan organisasi lainnya.[1]
Pembentukan GNPF MUI sendiri merujuk pada fatwa MUI bahwa tindakan Ahok
mengutip surat Al-Maidah ayat 51 yang disampaikan di Kepulauan Seribu sebagai
bentuk pelecehan. Aksi ini juga secara
tidak langsung memberikan sumbangsih electoral pada kemenangan pasangan Anies-Sandi atas Ahok-Djarot pada
pilkada DKI Jakarta.
Bila dilihat aksi ini sangat efektif untuk menggiring
opini publik untuk kepentingan elektoral. Secara perlahan GNPF MUI bermetamorfosis
menjadi beberapa organisasi seperti GNPF Ulama dan PA 212. Gelombang massa
melalui dua organisasi tersebut menghadirkan organisasi oposisi baru diluar
organisasi masyarakat dan partai politik yang sudah mapan. Gerakan yang
dibangun tetap sama, yakni dengan
memainkan emosi dari massa Islam atas nama perjuangan agama menuntut keadilan
dan perubahan. Instrumen yang dipakai dengan memainkan simbol-simbol agama,
bendera kalimat tauhid, teriakkan takbir,
bahkan juga rangkain ritual dzikir, istighosah, sholawatan menjadi bumbu yang
luar biasa bagi gerakkan massa Islam.
Aksi reuni yang berlangsung tanggal 2 Desember 2018
berhasil mengulang aksi 2 tahun silam dengan dihadiri ratusan ribu massa.
Perkiraan massa yang hadir lebih sedikit oleh beberapa pengamat ternyata
meleset. Massa yang hadir tumpah ruwah di Monas dan sepanjang jalan Medan
Merdeka Barat dan sekitar Patung Kuda. Bila menurut Tim Riset Tirto menggunakan
Teori Herbert Jacob diperkirakan jumlah peserta yang
berkerumun di Reuni 212 diperkirakan sebanyak 429.431 orang dalam keadaan
padat, dan 772.976 orang dalam kerumunan amat padat.[2] Hanya saja misi yang terlihat
kali ini tidak lagi untuk memenjarakan “penista agama” tetapi untuk kepentingan
yang masih abu-abu. Indikasinya terlihat banyaknya spekulasi yang muncul
terhadap aksi ini, baik sebagai aksi politik yang terselubung dengan kemasan
agama, murni ajang silaturrahmi antar umat Islam, ataupun acara dzikir
kebangsaan. Memang terdapat banyak poin yang digaris bawahi dalam aksi tersebut
seperti elite partai politik yang hadir mayoritas pendukung Prabowo-Sandi,
pembawaan bendera bertuliskan tauhid, diawali rangkaian keagamaan, penyebutan
kata “ganti presiden”, penggunaan kalimat-kalimat kritik terhadap rezim saat
ini (kriminalisasi ulama, hanya membangun infrastruktur, dan lain-lain),
teriakkan takbir, dan konter statement yang ditujukan kepada aksi ini (radikal,
anti Kebhinekaan, anti Pancasila).
Gejala ini bisa jadi bagian dari sindrom politik
identitas yang kuat dari massa atas tidak terwakilinya aspirasi mereka.
Meminjam pernyataan Nicola Colbran dari Norwegian Centre for Human Rights, di
Indonesia agama punya multi identitas yang diwakilkannya, mulai dari identitas
personal, identitas etnis, identitas politik dan identitas nasional.[3]
Artinya, masalah tentang agama cenderung punya pertalian dengan banyak hal dan
membuatnya punya implikasi sosial-politik yang sangat besar. Dampaknya kemudian
menjadi letupan-letupan yang kekuatannya berkali-kali lipat karena yang
digunakan adalah identitas Islam yang menjadi agama dari 88 persen penduduk
Indonesia.
Bila melihat dari kajian sebelumnya aksi
212 merupakan aksi yang dilakukan hanya untuk kepentingan oligarki. Hal ini
dikarenakan adanya relasi aktor yang menggerakkan kelompok aksi massa dan kelompok
yang kontra dengan aksi 212. Hanya saja kesempatan tersebut digunakan atas
dasar sentiment dan fanatisme beragama. Gerakan aksi 212 gagal membawa massa
untuk memperjuangkan politik kelas dengan mengganti tatanan kelas oligarki.
Akibat lagi-lagi gerakan 212 dan anti 212 mengekalkan posisi oligarki dan
meneptkan mereka (pro dan kontra gerakan 212) sebatas bidak.[4]
Penelitian Endang sari melihat pemilihan
gubernur DKI Jakarta sebagai salah satu praktik politik identitas. Dimana elite
memperoleh kuasa dengan membangun kontruktivimse kepada umat Islam. Langkah
yang dilakukan dengan mendudukan umat Islam sebagai mayoritas yang terluka
untuk mempertahankan harga dirinya. Lantas yang dilakukan kemudian menggiring
suara untuk pasangan yang seiman.[5]
Politik identitas yang diutarakan Syafii
Maarif tidak akan membahayakan apapun dengan syarat cita-cita para pendiri
bangsa tentang persatuan, intregritas nasional, dan Pancasila dihayati secara
mendalam. Politik identitas di Indonesia sendiri lebih terkait dengan masalah
etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili
pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing. Sedangkan
politik identitas agama khususnya Islam muncul karena adanya pengerasan
pemahaman agama yang memunculkan paham anti-pluralisme, anti nasionalisme yang
mencakok pemahaman dari Arab Saudi dengan memonopoli kebenaran. Gerakan ini
baik secara politik atau non-politik menginginkan penerapan Islam dalam tataran
konstitusional.[6]
B. Politik Identitas
Bila dilihat secara definisi politik
identitas memiliki pengertian yang berbeda-beda. Meskipun terdapat titik
persamaan dalam spirit perjuangannya. Pada dasarnya identitas itu merupakan
keniscayaan yang kemudian akan dibungkus dengan politik. Definisi lama
menyebutkan bahwasannya politik identitas diartikan sebagai partisipasi
individu-individu dalam politik dengan menggunakan nama kelompok sosial
tertentu.[7]
Politik identitas tidak hanya sebatas sebagai penanda akan tetapi juga sebagai
representasi dari keberadaan suatu kelompok dalam memperjuangkan identitas
politiknya. Disini konsep identitas yang ada bersifat kelompok bukan secara
individu. Menurut Kauffman politik identitas sebagai gerakan politik radikal
yang tidak hanya berjuang memperoleh pengakuan tetapi juga legitimasi.[8]
Dalam perkembangannya politik identitas
menyesuaikan konteks yang ada dalam kemunculannya. Kemudian dari awal
kemunculan tersebut politik identitas dibagi menjadi dua yakni politik
identitas lama dan politik identitas baru.[9]
Politik identitas lama menitikberatkan pada pada nilai modernitas dan
industrialisme dalam sistem kapitalis negara liberal. Pada tipe politik
identitas ini menjamin hak-hak individu dengan identitas digunakan untuk tujuan
politis yang berbasis ekenomi. Model kedua politik identitas lebih melihat pada
identitas yang melekat pada diri individu seperti etnis, ras, suku dan agama.
Maka tak heran jika politik identitas untuk saat ini lebih melekar pada tindakan politis untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas,
jender, atau keagamaan.[10]
Kemunculan politik
identitas sendiri pada umumnya dari adanya pengebirian hak-hak kelompok
tertentu sehingga termarginalkan. Oleh karenanya mereka berjuang memperoleh
hak-haknya kembali baik disalurkan melalui sebuah kebijakan pemerintah ataupun
melalui gerakan separatis. Banyak cara yang dilakukan untuk memperjuangkan hak
politik identitas tersebut diharapkan mampu menempatkan wakil-wakil dari sebuah
kelompok untuk bisa memperoleh panggung politik sehingga memberi keuntungan
bagi kelompoknya. Meskipun demikian politik identitas sering kali masih
mengedepankan ikatan ke-kami-an yang mengakibatkan pembedaan-pembedaan mendasar
dalam masyarakat yang dipertentangkan.
Bila ditelaah lebih jauh sifat
ke-kami-an ini memiliki dampak yang luar biasa secara internal kelompok itu
sendiri ataupun pada ekternal kelompok lain. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakakn oleh Latif bahwasannya politik identitas sebagai politic of difference yang didasarkan
pada pencarian perbedaan.[11]
Secara internal makna ke-kami-an ini akan memunculkan rasa saling memiliki,
solidaritas dan loyalitas. Tetapi bila secara eksternal akan memperuncing
jurang pemisah antar kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Disinilah pada
titik tertentu memunculkan rasa diskriminasi (ketidaksetaraan) yang dirasakan
kelompok lain. Akibatnya akan memunculkan sentimen antar kelompok yang saling
berlawanan. Politik identitas
juga bisa difungsikan sebagai strategi politik untuk menyingkirkan orang-orang
atau golongan lain yang berbeda darinya. Sejalan dengan pendefinisian Donald L. Morowitz pakar politik dari Univeritas Duke yang menyebutkan politik identitas memberikan garis yang tegas
untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.[12]
Bila dikaitkan dengan
konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk
memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk
menggejalanya perda syariah, perda injil maupun upaya menjadikan sebuah kota
identik dengan agama tertentu. Lantas dari penggunaan agama sebagai politik
identitas memiliki implikasi positif dan negatif. Dampak negatif sendiri
memunculkan pembelahan sosial dalam masyarakat. Hal ini karena menggunakan
agama dengan memanipulasinya sebagai sumberdaya politik. Dari sini kemudian
politik identitas menjadi sebuah gerakan politik yang menjadikan perbedaan yang
berserak di ranah sosial tersebut dieksplotasi dan dikapitalisasi untuk
kemudian dikonversi menjadi electoral vote.
Politik
identitas berdasar agama seringkali dilakukan oleh gerakan kelompok
fundamentalisme. Dimana melakukan gerakannya sering kali menyebabkan tiga
bentuk kekerasan yakni secara fisik (trauma, terluka terbunuh), simbolik
(tulisan dan lisan), struktural (melalui negara, aparat).[13]
Gerakan ini muncul akibat adanya perasaan terancam oleh laju modernisme barat
seperti liberalisme, sekulerisme, dan globalisasi yang berdampak pada hilangnya
nilai moral digantikan oleh nilai materialistik. Akibat ancaman inilah kemudian
agama dapat dengan mudah menjadi alat (legitimasi) penggunaan kekerasan.[14]
Politik
identitas berbasis agama cukup pelik sekali untuk dikonsepkan karena terdapat
dua sisi yang saling bersinggungan yang menjadi rancu ketika dua sisi ini
dipisahkan. Hal ini dikarenakan adanya satu indikator dalam politik identitas
berbasis agama yang tentang identitas itu sendiri. Selain sebagai pertahanan
moral agama juga sebagai sumber penggerak dalam perubahan sosial yang terjadi.
Semisal melakukan aktivitas politik dengan melepas identitas agamanya, maka
yang terjadi esensi dari tindakan politik yang dilakukan berpeluang besar akan
kehilangan makna. Lantas dari sini dua sisi tersebut menjadi sebuah amunisi
yang digunakan untuk melawan penindasan sekaligus pengungkapan sebagai korban.
Persoalan
akan lebih terlihat ketika berada dalam struktur sosial yang plural. Dimana
dalam satu tatanan sosial terdapat berbagai macam agama. Disinilah kemudian
letak politik identitas akan lebih sering saling bersinggungan dibandingkan
dengan masyarakat yang homogen. Salah satu kelompok akan memiliki kecenderungan
merasa di dzolimi atas perlakuan kelompok lain khususnya terkait tidak
diakomodasinya perjuangan penerapan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Tipologi Baru Politik
Identitas, Gerakan Aksi 212
Bila
kita melihat dari awal mula muncul gerakan 212 atau dulu dikenal dengan Aksi
Bela Islam sampai sekarang, gerakan ini bisa dikatakan sebagai gerakan politik
identitas. Hal ini lebih karena banyaknya hubungan antar elemen massa yang
akhirnya mulai membentuk gerakan ini sebagai parlemen jalanan dengan
menyuarakan tuntutan-tuntutan tekait apirasi politik, ekonomi dan budaya yang
mereka anggap sebagai rasa penindasan dan diskriminasi. Memang awalnya hanya
sebatas bentuk demontrasi biasa, tetapi secara perlahan mulai bermetamorfosis
menjadi gerakan identitas di arena politik kontemporer. Ungkapan bahwa harus
memilih pemimpin yang seiman, pemimpin muslim, dan haram memilih pemimpin kafir
sudah termasuk dalam variabel politik identitas.
Beberapa indikator yang ada memasukan aksi
reuni 212 sebagai politik identitas berbasis agama adalah pertama, adanya
ikatan satu rasa satu sepenanggungan yang membentuk solidaritas gerakan atas
persamaan agama. Kedua, gerakan yang dibangun atas nama ketidakadilan, dan
termarjinalkan secara sistem (mustadl’afin)
ketiga, gerakan 212 merembet pada sektor ekonomi seperti pendirian koperasi
syariah dan 212 mart. Dari ketiga indikator tersebut pada dasarnya merupakan
tanda akan adanya ketimpangan akses sumber daya yang memunculkan gerakan Islam
populistik.
Kita bisa membagi dua
wajah gerakan 212 yang menjadi latar belakang dalam gerakan politik identitas.
Wajah pertama, politik identitas sebagai mekanisme untuk menggalang kekuatan
melawan hegemoni politik atau dominasi kelas sosial. Wajah kedua, politik
identitas digunakan untuk mempertahankan kepentingan status quo dengan cara
memanipulasi identitas politik untuk memperoleh dukungan, legitimasi
kekuasaan.
Apakah hal ini disalahkan? Tentunya hal
ini tidak bisa depersepsikan secara hitam dan putih. Pola pikir tersebut diistilahkan filosof postmodern Jacques
Derrida sebagai pola pikir posisi biner (binary opposition) ini tentu
berbahaya bagi masyarakat yang berkarakter plural seperti Indonesia. Sebab jika ditelaah identitas sebenarnya hanya perangkat tambahan untuk
membangun solidaritas kolektif. Sedangkan kita lupa pokok permasalahannya yang
paling mendasar.
Dibalik pro kontra penggunaan politik
identitas ada sisi menarik dari gerakan 212. Gerakan tersebut tidak sepenuhnya
memiliki indikator yang disebutkan sebagai ancaman dari politik identitas agama
yang ada. Bila merujuk pada definisi politik identitas
sebagai nuansa fanatisme golongan atau kelompok berdasarkan segmentasi agama
tertentu, bahkan menolak seluruh realitas sosial yang tidak sesuai
segmentasinya. Kemudian
gerakan politik identitas akan memunculkan cikal bakal dari gerakan radikal,
konservatif, fundamental dan fasis, maka gerakan 212 mulai membalikkan semua
kondisi tersebut. Entah hal ini sebagai salah satu strategi gerakan atau memang
sudah menjadi kesadaran secara kolektivitas. Fakta dilapangan mereka gerakan
212 menyadari untuk tetap menjujung toleransi, keberagaman, dan kebhinekaan.
Tak ayal fakta ini membuka peluang tipologi baru dari politik identitas yang
selama ini ada. Kita bisa melihat dari aksi yang ada dalam setiap orasi aksi
212 selalu menyerukan damai, tertib, tidak rasis dan menghormati keberagaman
beragama. Gaya baru dari citra politik identitas pada umumnya yang cenderung
anarkis dan eksklusif dengan menonjolkan konten sebagai konter atas stereotif
negatif yang melekat pada gerakan ini.
Perlu dicatat mengenai politik identias
berbasis agama ini suatu ironi yang nyata. Bila melarang gerakan politik karena
menggunakan atribut agama sebagai identitas gerakan, maka ibarat melarang
mereka bernapas dengan oksigen. Sebab melalui agama itulah solidaritas secara
komunal bisa terbangun untuk bisa memperoleh apa yang menjadi keinginannya.
Akan tetapi menggunakan identitas agama sebagai gerakan politik secara membabi
buta juga bisa mengancam keberagaman dan pluraslisme. Oleh karenanya politik
identitas bisa digunakan dengan baik asalkan sesuai dengan dosis yang
disesuaikan.
Gerakan 212, Gerakan Politik Elektoral
Apabila kita amati gerakan massa reuni 212
tersebut hakekatnya memiliki misi dalam setiap aksinya. Sehingga aksi tersebut
bukan gerakan massa tanpa nilai yang hanya menggelar aksi tanpa agenda yang
ingin dicapai. Meskipun dalam misi yang ingin dijalankan tidak dibeberkan
secara jelas karena peluang besar setting antara elit aksi yang menggerakkkan
aksi dengan anggota massa yang hadir memiliki persepsi yang berbeda. Satu usaha elit aksi sejak berdirinya gerakan 212 yakni
untuk bisa memembentuk opini bahwa pemerintah gagal dalam mengakomodasi
kepentingan “Umat Islam” yang tidak pro akan perjuangan agama. Bisa dilihat
pesan dari tokoh kunci gerakan 212 Habib Rizieq Shihab dalam menyampaikan
pidatonya melalui teleconference,reuni 212 bukan sekadar aksi demonstrasi biasa, tapi
merupakan media konsolidasi umat Islam dan rakyat Indonesia untuk melawan
kezaliman dan menegakkan keadilan.[15]
Tentunya bila merujuk
pernyataan tersebut kita bisa meruntut dari beberapa peristiwa antara
pemerintah yang melakukan tindakan represif terhadap kelompok ini. Paling
terlihat ketika tindakan kritik Rizieq Shihab yang terlalu vokal kepada
pemerintah membuatnya menjadi orang paling dicari. Terutama pasca ditetapkannya
dia sebagai tersangka dalam kasus chat porno dengan Fierza Husein. Penetapan
tersangka ini dianggap oleh gerakan 212 sebagai tindakan kriminalisasi yang
dibuat-buat oleh pemerintah.
Tajuk reuni 212 kemudian diusahakan digiring untuk
mengkosolidasikan suara kepada salah satu calon pasangan presiden. Penggiringan
ini searah dengan sikap dingin kedua kelompok (pemerintah-elit 212) dalam
membangun komunikasi sejakan gerakan ini didirikan. Hal ini bisa dilihat dari
elit yang hadir dalam acara tersebut mayoritas merupakan pendukung
Prabowo-Sandi. Hal yang lumrah dilakukan oleh suatu kelompok tertentu
memberikan dukungan politik kepada lawan dari kelompok yang dijadikan musuh
(pemerintah).
Bila dikatakan bahwa reuni 212 sebagai gerakan politik
bisa dikatakan iya apabila dilihat dari perilaku elit gerakan 212 beserta
sebagian besar massa yang hadir. Sejak awal gerakan 212 berdiri untuk menuntut
Ahok dipenjarakan karena melakukan pelecehan terhadap Al-Qur’an. Akibat gerakan
massa 212 itulah menjadi salah satu penyebab Ahok kalah pada pemilihan gubernur
DKI Jakarta. Kemudian pergerakan pentolan 212 berlanjut ketika mulai
berkoordinasi dibawah GNPF Ulama menentukan pasangan capres-cawapres yang akan
diajukan dalam pilpres 2019 melalui hasil Ijtima’ Ulama. Pada titik inilah
gerakan 212 mulai membangun narasi untuk mengkritik pemerintah melalui wacana
ketidakadilan dan kegagalan membangun ekonomi . pada ujung misi jangka pendek
tahun2019 dari gerakan 212 untuk tidak memilih petahana sebagai presiden
kembali.
Reuni 212 mulai melakukan penggiringan dukungan melalui
ajakan untuk 2019 mengganti presiden yang kemudian mendapat reaksi serupa dari
massa reuni yang hadir. Bahkan tak sedikit yang mengelu-elukan nama Prabowo.
Momen ini setidaknya secara tidak langsung memberikan dukungan kepada calon
oposisi, meskipun tanpa menyebut nama capres-cawapres yang dimaksud. Pada
posisi inilah kemudian gerakan 212 berubah menjadi mesin politik yang memiliki
daya tawar cukup kuat melalui dukungan massa 212.
Pembentukan misi reuni ini pada dasarnya merupakan hasil
pengocokan dari sensitifitas identitas agama masyarakat dengan
kondisi politik yang terjadi. Akibatnya sentiment agama dalam masyarakat akan lebih mudah memicu pergolakan emosi
dengan menomorduakan rasionalitas. Hal ini sering kali muncul pada masyarakat
yang berlatar belakang ekonomi lemah dan pendidikan rendah. Sentimen agama terjadi pada Muslim
berpenghasilan rendah (di bawah Rp1 juta) yang menolak pemimpin non-Muslim juga
melonjak. Pada 2016, hanya ada 41,5% yang anti pemimpin non-Muslim.
Pasca-mobilisasi 212, jumlahnya naik jadi 50%. Lonjakan ini jauh di atas
kelompok Muslim dengan pendapatan menengah ke atas (di atas Rp2 juta) yang
hanya naik 3% dari 2016 sampai 2017.[16]
Meskipun perlu digaris bawahi tidak
semua yang ikut dalam reuni 212 memiliki latarbelakang ekonomi dan pendidikan
rendah karena tidak sedikit yang memiliki ekonomi berkecukupan. Disinilah fenomena
khusus akan kebangkitan identitas Islam di Indonesia sangat variatif. Tinggal
siapa yang mampu lebih dulu memanfaatkan gerakan tersebut sesuai dengan
misinya. Perlu diketahui FPI, HTI, FUI, DDII, warga NU, Muhammadiyah secara
amaliyah memiliki persamaan akan ketidakpuasan kinerja pemerintah Jokowi yang
diikat dengan rasa persaudaraan seagama. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan
beberapa komponen ormas ini tetap memiliki agenda pribadi masing-masing. Hanya
saja untuk saat ini fokus paling utama ialah meruntuhkan singgasana petahana.
Politik identitas agama dalam gerakan 212 sejatinya telah
diakui menjadi landasan dalam melakukan gerakkannya. Ruh gerakan 212 dengan promotor GNPF Ulama menggunakan instrument
identitas agama diakui sendiri oleh imam besarnya Rizieq Shihab. Bahwasannya Ijtima Ulama akan terus
menghidupkan dan menggelorakan “politik identitas umat” kebangsaan atas dasar
ketuhanan yang maha esa demi menjaga keutuhan NKRI untuk menuju Indonesia
berkah.[17] Disini sangat jelas dan
disadari mengenai penggunaan politik identitas Islam untuk mencapai misinya
(elit) memanfaatkan sensitifitas satu keyakinan agama “Umat Islam” yang satu
rasa satu sepenanggungan. Disini kita tidak mudah menebak sepihak secara mayoritas
motif gerakan diluar keinginan mengalahkan petahana. Saya rasa gerakan 212
tidak akan berhenti sampai pada memenangkan capres-cawapres hasil Ijtima’ Ulama
selama masih ada keinginan gerakan yang diprakrasai oleh para elit gerakan.
Apabila mau mengkuliti
embrio gerakan 212 melalui para elitnya menginginkan kedudukan ayst suci diatas
konstitusi.[18]
Secara tidak langsung terdapat upaya untuk meletakan nilai agama diatas UUD
1945 melalui kekuatan gerakan yang dibangun. Tinggal bagaimana elit gerakan 212
melakukan tawar menawar dengan mitra politiknya (Prabowo-Sandi) apabila mampu
memenangi pemilu presiden 2019. Sebab tidak menutup kemungkinan gerakan 212
bisa berbalik arah menjadi oposisi terhadap siapapun yang terpilih menjadi
presiden 2019 yang akan datang.
Daftar Pustaka
Aronowitz,
Stanley. The Politics of Identify: Class,
Culture, Social Movements, (Psycology Press, 1992).
Haboddin, Muchtar., 2012, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal, Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 3 Nomor
1 Februari 2012, Hal. 109-126
Houtart,
Francois. ”The Cult of Violence in the
Name of Religion: A Panorama,” Concilium 4 1997. hal. 3.
Kauffman,
LA and Barbara Ryan, ”The Politics of
Identity”, Identity Politics in The Women’s Movement,2001.
Lukmantoro, Triyono. 2008. Kematian
Politik Ruang. Jakarta: Kompas
Maarif,
Syafii. 2012.
Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
Mason, Lilliana and Nicholas T Davis, “A
Broader Approach to Identity Politics: Socio-Partisan Sorting and The Deepening
Partisan Devide.”, Conference Paper, September 2015.
Pulungan
dan Setyanto, 2009. Politi Identitas: “Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam
Dinamika Politik di Indonesia dan Asia tenggara”. Salatiga: Percik.
Sangadji,
Anto dkk. Aksi Bela Islam atau Aksi Bela Oligarki. 2017. Jakarta: Pustaka
Indoprogress dan Islam Bergerak.
Sari,
Endang. 2016. Kebangkitan Politik Identitas Islam pada Arena Pemilihan Gubernur
Jakarta. Jurnal Kritis. Vol.2 2 Desember.
(https://tirto.id/rizieq-jangan-ada-yang-menggembosi-apalagi-merusak-reuni-akbar-212-daDr) diakses pada 16 Desember 2018 pukul
10.10
https://nasional.tempo.co/read/1151740/5-pidato-rizieq-di-reuni-212-ayat-suci-di-atas-konstitusi/full&view=ok diakses pada 18 Desemeber 2018 pukul 10.25
https://pinterpolitik.com/jokowi-terjebak-maruf-amin/ diakses pada 15 Desemeber 2018 pukul 08.00
https://tirto.id/di-balik-para-pendukung-aksi-112-ciJb diakses pada 16 Desember 2018 pukul 07.40
https://tirto.id/mobilisasi-massa-ala-212-mungkinkah-terulang-jelang-pilpres-2019-cQs5) diakses pada 17
Desemeber 2018 pukul 09.10
https://tirto.id/reuni-212-benarkah-klaim-8-juta-peserta-daTm diakses pada 16 Desemeber 2018 pukul 08.30
https://tirto.id/serukan-menangkan-prabowo-rizieq-singgung-politik-identitas-umat-cZgL diakses pada 17 Desemeber 2018 pukul 09.30
[1] https://tirto.id/di-balik-para-pendukung-aksi-112-ciJb diakses pada 16 Desember 2018 pukul 07.40
[2] https://tirto.id/reuni-212-benarkah-klaim-8-juta-peserta-daTm diakses pada 16 Desemeber 2018 pukul 08.30
[3] https://pinterpolitik.com/jokowi-terjebak-maruf-amin/ diakses pada 15 Desemeber 2018 pukul 08.00
[4] Anto Sangadji, dkk. Aksi Bela Islam atau Aksi Bela
Oligarki. 2017. Jakarta: Pustaka Indoprogress dan Islam Bergerak. Hlm 56.
[5] Endang Sari. Kebangkitan Politik Identitas Islam pada Arena
Pemilihan Gubernur Jakarta. 2016. Jurnal Kritis. Vol.2 2 Desember .
[6] Syafii Maarif. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Kita.2012.Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
[7] Lilliana Mason and Nicholas T Davis, “A Broader Approach to Identity Politics: Socio-Partisan Sorting
and The Deepening Partisan Devide.”, Conference Paper, September 2015.
[8] LA Kauffman and Barbara Ryan , “ The Politics of Identity”, Identity Politics in The Women’s
Movement,2001. Hlm 23.
[9] Stanley Aronowitz, The
Politics of Identify: Class, Culture, Social Movements, (Psycology
Press,1992). Hlm 12.
[10] Triyono Lukmantoro. 2008.
Kematian Politik Ruang. Jakarta
: Kompas hlm 2
[11] Pulungan dan Setyanto, 2009. Politi Identitas: “Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika
Politik di Indonesia dan Asia tenggara”. Salatiga:Percik.
[12] Haboddin, Muchtar., 2012, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal, Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 3 Nomor 1 Februari 2012, Hal.
109-126.
[13] Maarif, Syafii, dkk. 2012. Politik Indentitas dan Masa
Depan Pluralisme Kita. Jakarta:Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi,
[14] Francois Houtart, ”The
Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama,” Concilium 4 (1997),
hal. 3.
[15] https://tirto.id/rizieq-jangan-ada-yang-menggembosi-apalagi-merusak-reuni-akbar-212-daDr diakses
pada 16 Desember 2018 pukul 10.10
[16] https://tirto.id/mobilisasi-massa-ala-212-mungkinkah-terulang-jelang-pilpres-2019-cQs5) diakses pada 17 Desember 2018 pukul 09.10
[17] https://tirto.id/serukan-menangkan-prabowo-rizieq-singgung-politik-identitas-umat-cZgL diakses pada 17 Desember 2018 pukul 09.30
[18] https://nasional.tempo.co/read/1151740/5-pidato-rizieq-di-reuni-212-ayat-suci-di-atas-konstitusi/full&view=ok diakses pada 18
Desemeber 2018 pukul 10.25
Komentar
Posting Komentar