Peran Kyai dalam Politik Lokal di Madura
1.1 Latar Belakang
Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998,di Indonesia perlahan mulai
menerapkan sitem demokrasi murni. Penerapan sistem demokrasi ini merupakann
titik balik dari rezim orde baru yang otoriter. Memang mulai pada tahun 1971 di
Indonesia kebebasan dalam masalah politik, berpendapat, mulai dikekang.
Pengekangan tersebut diartikan oleh rezim orde baru sebagai langkah untuk mewujudkan stabilitas
politik sehingga proses pembangunan yang menjadi program pemerintah bisa
berjalan lancar. Adapun pemilu yang
diselenggarakan pada masa itu sebenarnya terkesan sebagai formalitas saja.
Sebab partai pemenang pemilu sudah bisa ditebak dengan kekuatan dari
mobilisasi suara pegawai negeri sipil
dan para perangkat pemerintahan yang memang terdiri dari orang-orang titipan
pemerintah pusat.
Namun sejak demokrasi didengungkan semua bentuk dominasi negara mulai
menurun. Bisa dilihat dari adanya pemilu yang diikuti sekitar 48 partai baik 3
partai lama era orba maupun partai-partai baru. Ditahun 2004 untuk pertama
kalinya Indonesia juga menyelenggarakan pemilihan presiden langsung oleh
rakyat. Demokrasi juga semakin menjadi ruh kebabasan setelah keluar UU no 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah disahkan yang memiliki wewenang dalam
menyelenggarakan demokrasi lokal melalui pemilihan langsung Gubernur, Bupati
dan Walikota. Hal ini membuka peluang berkompetisinya para tokoh lokal untuk
meraih kursi kekuasaan ditingkat daerah. Meskipun sempat muncul UU baru tahun
2014 yang berisikan pemilihan ditingkat daerah melalui DPRD yang kemudian
disusul keluarnya Perpu Presiden yang isinya tetap diadaknya pilkada langsung
dengan 10 syarat. Tentunya agenda terebut tetap menjadi gelanggang meraih
kekuasaan bagi para elit lokal. Tak hanya para politisi daerah tapi juga para
tokoh berpengaruh di masyarakat seperti tokoh agama yang meliputi Kyai,
Pendeta, Biksu, tokoh adat, para purnawirawan hingga para pengusaha.
Melihat dari mayoritas
masyarakat Indonesia beragama Islam, maka tak heran jika penulis menitik
beratkan pada peran kyai dalam setiap proses politik yang ada di setiap daerah
di Indonesia. Sosok kyai juga memiliki kedudukan yang terhormat dengan pengaruh
yang besar yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama. Apalagi ada satu
hadis yng mengatakan bahwa sosok kyai sebagai pewaris para Nabi. Lantas posisi
kyai seperti ini sering kali membuat masyarakat menempatkan Kyai tidak hanya
sebagai sumber legitimasi di bidang agama bahkan di semua bidang kehidupan
termasuk pilihan politik.
2.1 Arti Peran Kyai Sebagai Elit Politik Lokal
Manusia
sejak lahir di dunia sudah menjadi bagian dari struktur dalam lingkungan
hidupnya. Bagian inilah yang menempatkan manusia dalam suatu status di
masyarakat serta peran yang berbeda pada setiap individunya. Peran merupakan
aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang diterapkan budaya.[1]
Proses ini terjadi secara alami dan diharapkan aktor-aktor yang bermain bisa
selalu menjalankan tugasnya dalam berinteraksi di tatanan masyarakat yang ada.
Kyai secara
tertimologis adalah pendiri serta pemimpin sebuah pesantren sebagai muslim
terpelajar yang membaktikan dirinya semata-mata hanya karena lillahi ta’ala dengan
mengajar dan menyebarluaskan agama melalui pendidikan Islam.[2]
Tapi pada masyarakat umumnya Kyai merupakan orang yang ahli dalam bidang agama
baik pengetahuan dan tingkah lakunya yang alim dan mampu mengayomi masyarakat.
Tak heran jika sosok Kyai menjadi tokoh yang selalu disegani dan dihormati oleh
masyarakat.
Sosok Kyai
memiliki pengaruh besar didalam tatanan sosial masyarakat. Pengaruh tersebut
muncul dari kharisma yang dimiliki seorang kyai yang dalam peranannya yang tidak hanya memberikan bimbingan terhadap
para santri, namun juga dijadikan filter yang menyaring budaya luar yang masuk.
Selain itu peran dalam melalukan perubahan sosial baik di lingkungan pesantren
maupun masyarakat sekitar seperti pemberdayaan ekonomi sampai fatwa yang
diminta masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politik, meskipun diketahuai
tidak semua Kyai sebagai politisi. Dalam kondisi seperti itulah menjadikan Kyai
sebagai culturalbrokers (agen budaya) di tatanan sosial yang ada.[3]
Sebenarnya
dikatakan elit itu hanya sebagai minoritas yang terorganisir. Berlawanan dengan
massa yang menjadi mayoritas tapi minim akan pengaruh serta kurang
terorganisir. Sehingga kelompok elit lebih banyak menjadi penentu dalam setiap
mengambil keputusan yang menyangkut hajat orang banyak. Elit sendiri pada
hakikatnya sama dengan massa, hanya saja yang membedakaan elit lebih pandai
dalam intelektual dan pandai membaca situasi keadaan, serta lebih mampu
mengendalikan situasi.
Kyai juga
bisa di golongkan dalam kelompok elit tersebut, yang mana memiliki pengaruh
kekuasaan ditingkat lokal baik secara formal maupun non-formal. Dikatakan
formal jika Kyai menduduki posisi jabatan secara administratif seperti jabatan
eksekutif dan legislatif. Contoh konkrit Kyai menduduki jabatan formal ketika
K.H Hasan Aminudin menjadi Bupati di Kabupaten Proboliggo. Bila non-formal,
Kyai hanya menduduki jabatan strategis yang memiliki pengaruh langsung ke
masyarakat seperti organisasi keagamaan atau kemasyarakatan. Jadi Kyai
menempati segala kedudukan yang memiliki legitimasi secara formal maupun
non-formal.
Secara umum
figur Kyai hanya sebatas pada perannya yang dijadikan rujukan setiap persoalan
agama yang muncul. Bukan berarti Kyai tidak memiliki hak dan dilarang untuk
tampil dalam dunia politik. Karena secara teologi Islam sebagai rahmatan lil
alamin, yang mejadikan Islam sebagai landasan dalam menjalani kehidupan
disemua bidang. Walaupun Al-qur’an hanya menggambarkan urusan politik secara
universal tapi eksistensinya ada ketika nabi Muhammad S.A.W mempraktekannya
sebagai pemimpin di negara Madinah. Tentunya gambaran ini menjadikan Kyai untuk
ikut dalam dimensi politik yang berjalan.
Perpolitikan
Kyai mengundang banyak komentar yang mengkritisi bahwa secara umum politik Kyai
masih bersifat ekspresif dan belum bersifat instrumental[4].
Bersifat ekspresif karena masih banyaknya penggunaan simbol-simbol Islam,
seperti penggunaan simbol bulan bintang, mengadakan istighotsah kubro, apel
akbar ketika menghadapi masalah politik. Sedangkan instrumental menekankan pada
kepawaian dalam lobi politik secara prefesional dan pengaruh dalam pengambilan
keputusan politik secara langsung. Jika kedua sifat tersebut dimiliki Kyai,
tidak mungkin tidak Kyai menjadi kekuatan politik yang jitu.
Kuatnya
pengaruh Kyai biasanya kian terasa menjelang pemilihan umum presiden maupun
daerah. Banyak para calon yang maju dalam pemilihan meminta restu ke para Kyai
dengan tujuan mampu menarik vote gatter. Safari politik tersebut
merupakan strategi yang biasa dijalankan guna membidik sasaran pemilih berbasis
santri. Tak pelak terkadang muncul perbedaan pandangan politik antar Kyai.
Sehingga memunculkan pecahnya suara pemilih di kantung-kantung suara basis pesantren.
2.2 Kekuatan Politik Kyai di Kabupaten Sumenep
Kh. Busyro Karim, bupati Sumenep |
Sumenep
merupakan salah satu kabupaten yang ada dan terletak di sebelah timur pulau
Madura. Luas wilayah kabupaten Sumenep 2.093,457573 km2 yang dihuni
sekitar 1.041.915 jiwa.[7]
Pada tahun 2010 lalu kabupaten Sumenep menggelar hajat demokrasi yang diikuti 8
pasang calon bupati. Dimana 4 calon dari 8 pasangan pasang calon yang terdaftar
merupakan figur Kyai dan Nyai baik diusung partai politik maupun independen. Ke
3 Kyai tersebut yakni K.H Busro Karim yang diusung PKB, K.H Ilyas Siraj melalui
jalur independen, K.H Saleh Abdullah dengan parpol Demokrat dan Golkar, dan Ny,
Dewi Khalifah yang diusung PKNU. Pada pilkada tersebut pasangan K.H Busro
Karim-Sungkono Siddik (ABUSIDDIK) sebagai calon terpilih harus bersaing dua
putaran setelah pada putaran pertama hanya unggul tipis dengan selisih 1,2%
atas pasangan Azasi Hasan-Nyai Dewi Khalifah (ASSYIFA) 21,64% melawan 20,44%.
Sedangkan K.H Saleh Abdullah mendapatkan
14,34% dan K.H Ilyas Siraj hanya meraup 7,72%.[8]
Pada dua
periode sebelumnya Sumenep juga dipimpin bupati berlatar Kyai bernama K.H
Ramdlan Siraj yang juga pimpinan pesantren Nurul Islam Karang Bluto. Situasi
tersebut menandakan kekuatan calon bupati Sumenep masih terpaku pada sosok Kyai.
Fenemona ini menunjukan bahwasanya di Sumenep Nahdlatul Ulama dengan basis massa Nahdliyin sangat kuat. Jika melihat perolehan suara pemilu 2009
partai-partai berlatar belakang Kyai semisal PKB berhasil meraup 125.393
sebagai suara terbanyak dengan 11 kursi disusul PPP dengan 60.647 dengan 7
kursi terakhir PKNU berhasil meraup 33.291 dan mendapat 4 jatah kursi.[9]Tentunya
gambaran terebut menyimbolkan betapa kuatnya kultur santri di kabupaten yang
memiliki semboyan Sumekar ini.
Setelah
terpilih menjadi bupati di kabupaten Sumenep K.H Busro lantas tidak
meninggalkan kebiasaanya sebagai Kyai dengan tetap mengajar kitab kuning di
pondokya. Ciri khas sebagai figur agama tetap dibawanya dalam menjalankan
aktifitas birokrasi. Gaya ini bisa terlihat ketika setiap rapat berakhir maka
dilanjutkan dengan memimpin doa selain itu acara istighotsah yang pada awalnya
digunakan untuk mendekatkan diri ke sang Khalik juga disiasti guna
konsolidasi dan merangkul lawan politiknya dengan duduk bersama pada suksesi
kepemimpinnya tersebut.
Seperti
pendapat K.H Busro yang mengatakan bahwa menjadi bupati merupakan hal yang
sah-sah saja bagi Kyai, dengan syarat mampu memenej kepemimpinanya dalam
pemerintahan.[10]
Track record K.H. Busro sebenarnya sudah teruji ketika memimpin DPRD
Sumenep selama dua periode. Melalui kemampuan menagerial-nya itulah
beliau mampu menundukan egosentris politik anggotanya. Memang pada dasarnya penyesuaian
gaya kemimpinan ketika menduduki birokrasi dan pesantren harus dilakukan karena
secara garis besar berbeda. Kondisi ini bisa dilihat posisi sentralistik ketika
memimpin pesantren berbanding terbalik ketika memimpin lembaga pemerintahan
semua kebijakan harus dirapatkan dan disidangkan.
Kelebihan
yang dimiliki dari kepemimpinan Bupati berlatar Kyai ketika persoalan konflik
muncul. Sebab dengan pengaruhnya yang besar
mampu menggiring opini massa dengan acara pengajian politik. Kepiawaian
yang dimiliki tersebut dimanfaatkan
dalam mendogma masyarakat yang memiliki kultur keagamaan yang kuat supaya
mengikuti setiap kebijakan dan keputusannya.
2.3 Kepemimpinan
Bupati Kyai dalam kebijakan pembangunan daerah
Adanya
latar belakang yang berbeda dari sosok Bupati-Kyai menjadi perhatian utama
dalam kepimpinanya pada dunia birokrasi. Diketahui dunia birokrasi tak jauh
berbeda dengan Kyai beserta pesantrennya yang mana sama-sama membutuhkan
manajerial. Walaupun ada permasalahan dalam manajerial di pesantren yang hanya
bersandar pada seorang atau beberapa figur saja. Kemampuan memanfaatkan kefiguran tersebut
dari kultural ke ranah politik maka seharusnya memudahkan Kyai dengan kepatuhan
religiuitas santri dan masyarakat memobilisasi dukungan pada preferensi
kebijakan tertentu.
Hal tersebut juga diterapkan K.H Busro
Karim semenjak menjabat bupati Sumenep dengan terobosan-terobosan kebijakan
yang dinilai suatu prestasi yang dapat dibanggakan, semisal kesuksesan
pengajuan yudisial review ke MK tentang migas yang pertama alokasi keuntunganya
lebih banyak masuk ke anggaran provinsi Jawa Timur menjadi ke kabupaten
Sumenep.[11]
Selain itu ada kebijakan yang membolehkan berobat gratis bagi warga diluar
kabupaten Sumenep. Padahal aturan sebelumnya hanya diperuntukan bagi masyarakat
asli Sumenep. Kabupaten Sumenep, menurut hasil survei tingkat kepuasan
masyarakat, menempati urutan teratas dalam memenej kinerja SKPD mengungguli 3
kabupaten lain di Madura. Meskipun begitu dalam catatan Bappeda
kebijakan-kebijakan bupati Sumenep masih banyak hanya mengulang program bupati
periode sebelumnya.
Ada juga muatan lokal politik bupati
Sumenep yang muncul seperti fungsi pendopo yang awalnya dijadikan acara resmi
kenegaraan bertambah fungsi menjadi tempat pengajian, khataman Al-qur’an,
tahlil sampai akad nikah. Di lain sisi ketika pidato resmi pembukaan acara bisa
berubah menjadi ceramah agama sekaligus aturan bagi PNS wanita yang di wajibkan
memakai jilbab.
Terkadang figur Kyai hanya jadi sebatas
simbol ketika berhadapan pada kebijakan yang diambil tidak mempersentasikan
ke-Kyai-anya. Dalam artian tidak lagi bisa mengayomi sebagian orang. Intervensi
yang terlalu dominan membuat Bupati-Kyai mengambil langkah yang kurang tepat.
Masalah ini pernah di alami K.H Busro yang memutasi jabatan seseorang tanpa
prosedural yang berakibat munculnya masalah baru.
2.4
Hambatan Kyai Sebagai Elit Politik
Setiap
keputusan yang diambil selalu mengandung sebuah resiko dan dampak. Resiko itu
muncul sekan-akan telah menjadi hukum alam yang berlaku. Apalagi ketika
seseorang memutuskan untuk berkompetisi dalam gelanggang politik, konsekuensi
menang atau kalah sudah lumrah adanya. Ditambah intrik politik yang kejam menurut
sebagian orang menambah tantangan yang harus dihadapi serta persiapan mental
baja juga harus diperlukan. Terutama dalam dunia politik yang kadang tidak
mengenal mana kawan dan mana lawan. Semua hukum yang berlaku hanya berlandas
kepentingan.
Begitu juga
yang terjadi dalam diri Kyai yang sejatinya sebagai pengayom masyarakat dan
sebagai elit dengan kharisma yang begitu kuat masuk dalam ranah politik.
Derajat yang di pandang luhur oleh masyarakat dipertaruhkan. Tak menutup
kemungkinan akan timbul saling serang antar kontestan politik melalui statemen
dengan tujuan menjatuhkan kubu lawan. Pamor Kyai sebagai pemangku dan sosok
yang tahu akan hukum agama diuji kualitas pada tiap tindakannya. Sebab jika
melakukan kesalahan fatal dalam mengelurakan kebijakan atau perkataan bukan hal
yang mustahil wibawa bupati sekaligus Kyai akan rontok. Tentunya situasi
seperti itu harus benar-benar dicermati oleh para Bupati-Kyai.
Kenerja
dalam mengemban jabatan bupati bukan perkara mudah, melakukan kesalahan akan
menjadi sasaran tembak saingan politiknya. Lihat statemen yang dikeluarkan Dewi
Khalifah yang mengatakan kecurangan yang dilakukan K.H Busro dengan
memanipulasi suara pada pilkada Sumenep di tahun 2010 dan akibatnya dicapnya
Bupati periode 2010-2015 tersebut sebagai pemimpin yang tak adil terutama dalam
pendistribusian bantuan sosial. Masalah tersebut sebenarnya menjadi lampu
kuning bagi K.H Busro sebagai bupati sekaligus Kyai yang menyandang simbol
agama pada dirinya.
Dilain sisi
dampak para Kyai terjun dalam politik praktis membuat terpecahnya masyarakat di
akar rumput. Perpecahan tersebut bisa terlihat tak kala perbedaan pilihan
politik ketika ada 2 orang Kyai yang maju dalam pemilihan umum. Umat akan
beropini dalam menilai setiap calon dari Kyai yang maju, tidak saja opini yang
baik tapi bisa jadi menjurus pada tuduhan-tuduhan yang tak berlasan. Efek
dominonya Kyai yang dianggap sebagai waratsatul ambiya’ atau penerus
para nabi kehilangan legitimasinya dalam mengurusi umat.
3.1 Catatan
Akhir
Ada
beberapa catatan yang dihasilkan dari penjelasan kepemimpinan Kyai menjadi
bupati yakni:
1. Kyai tetap menjadi elit lokal yang berpengaruh di masyarakat baik dalam
menentukan masalah agama sampai urusan politik.
2. Kemampuan memenej pemerintahan merupakan syarat terpenting dalam
memimpin sebuah birokrasi.
3. Kyai yang menjadi bupati mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mencirikan kuat kultur agamanya. Dimana atribut-artibut keagamaan
diformulasikan dalam pemerintahan daerah.
4. Masuknya Kyai dalam dunia birokrasi dapat menghilangkan marwah Kyai
sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang harus dihormati.
Daftar Pustaka
Azizah, Nurul.
2013. Artikulasi Poltik Santri dari Kyai Menjadi Bupati, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Chariri, Anis.
2011, Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen
Independens Auditor Internal Pemerintah Daerah. Universitas Diponegoro,
Faridl, Miftah.2007,Peran Sosial
Politik Kyai di Indonesia.Sosioteknologi. 11(XI): 238
Kosim,
Muhammad.2007. Kyai dan Blatter.UIN Sunan Ampel, 2 (XII) : 162
Hasil Pemilu Sumenep 2009.2009, 15
Juni. Vivanews.com. diakses pada tanggal 26 Oktober 2014 pukul 23.07.
[1] Anis Chariri. Pengaruh
Konflik Peran dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen Independens Auditor
Internal Pemerintah Daerah. Universitas Diponegoro, 2011, hlm. 5
[2]
Nurul Azizah. Artikulasi Poltik Santri dari Kyai Menjadi Bupati.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 2.
[3]
Miftah Faridl. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia.Sosioteknologi.
2007.11(XI): 238.
[4]
Azizah, op.cit., hlm. 61.
[5]
Mohammad Kosim. Kyai dan Blatter.UIN Sunan Ampel, 2 (XII) : 162
[6]
Ibid,.hlm 164.
[7]
Azizah, op. Cit., hlm 109
[8]
Ibid., hlm 134.
[9]
Hasil Pemilu Sumenep 2009.2009, 15 Juni. Vivanews.com. diakses pada
tanggal 26 Oktober 2014 pukul 23.07.
[10]
Azizah, op.cit., hlm. 167
[11]
Ibid., hlm 229.
Komentar
Posting Komentar