Langsung ke konten utama

Peran Kyai dalam Politik Lokal di Madura

Peran Kyai dalam Politik Lokal di Madura
1.1  Latar Belakang
Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998,di Indonesia perlahan mulai menerapkan sitem demokrasi murni. Penerapan sistem demokrasi ini merupakann titik balik dari rezim orde baru yang otoriter. Memang mulai pada tahun 1971 di Indonesia kebebasan dalam masalah politik, berpendapat, mulai dikekang. Pengekangan tersebut diartikan oleh rezim orde baru  sebagai langkah untuk mewujudkan stabilitas politik sehingga proses pembangunan yang menjadi program pemerintah bisa berjalan lancar. Adapun  pemilu yang diselenggarakan pada masa itu sebenarnya terkesan sebagai formalitas saja. Sebab partai pemenang pemilu sudah bisa ditebak dengan kekuatan dari mobilisasi  suara pegawai negeri sipil dan para perangkat pemerintahan yang memang terdiri dari orang-orang titipan pemerintah pusat.
Namun sejak demokrasi didengungkan semua bentuk dominasi negara mulai menurun. Bisa dilihat dari adanya pemilu yang diikuti sekitar 48 partai baik 3 partai lama era orba maupun partai-partai baru. Ditahun 2004 untuk pertama kalinya Indonesia juga menyelenggarakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Demokrasi juga semakin menjadi ruh kebabasan setelah keluar UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah disahkan yang memiliki wewenang dalam menyelenggarakan demokrasi lokal melalui pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini membuka peluang berkompetisinya para tokoh lokal untuk meraih kursi kekuasaan ditingkat daerah. Meskipun sempat muncul UU baru tahun 2014 yang berisikan pemilihan ditingkat daerah melalui DPRD yang kemudian disusul keluarnya Perpu Presiden yang isinya tetap diadaknya pilkada langsung dengan 10 syarat. Tentunya agenda terebut tetap menjadi gelanggang meraih kekuasaan bagi para elit lokal. Tak hanya para politisi daerah tapi juga para tokoh berpengaruh di masyarakat seperti tokoh agama yang meliputi Kyai, Pendeta, Biksu, tokoh adat, para purnawirawan hingga para pengusaha.
Melihat dari mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka tak heran jika penulis menitik beratkan pada peran kyai dalam setiap proses politik yang ada di setiap daerah di Indonesia. Sosok kyai juga memiliki kedudukan yang terhormat dengan pengaruh yang besar yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama. Apalagi ada satu hadis yng mengatakan bahwa sosok kyai sebagai pewaris para Nabi. Lantas posisi kyai seperti ini sering kali membuat masyarakat menempatkan Kyai tidak hanya sebagai sumber legitimasi di bidang agama bahkan di semua bidang kehidupan termasuk pilihan politik.


2.1  Arti Peran Kyai Sebagai Elit Politik Lokal
Manusia sejak lahir di dunia sudah menjadi bagian dari struktur dalam lingkungan hidupnya. Bagian inilah yang menempatkan manusia dalam suatu status di masyarakat serta peran yang berbeda pada setiap individunya. Peran merupakan aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang diterapkan budaya.[1] Proses ini terjadi secara alami dan diharapkan aktor-aktor yang bermain bisa selalu menjalankan tugasnya dalam berinteraksi di tatanan masyarakat yang ada.
Kyai secara tertimologis adalah pendiri serta pemimpin sebuah pesantren sebagai muslim terpelajar yang membaktikan dirinya semata-mata hanya karena lillahi ta’ala dengan mengajar dan menyebarluaskan agama melalui pendidikan Islam.[2] Tapi pada masyarakat umumnya Kyai merupakan orang yang ahli dalam bidang agama baik pengetahuan dan tingkah lakunya yang alim dan mampu mengayomi masyarakat. Tak heran jika sosok Kyai menjadi tokoh yang selalu disegani dan dihormati oleh masyarakat.
Sosok Kyai memiliki pengaruh besar didalam tatanan sosial masyarakat. Pengaruh tersebut muncul dari kharisma yang dimiliki seorang kyai yang dalam peranannya yang  tidak hanya memberikan bimbingan terhadap para santri, namun juga dijadikan filter yang menyaring budaya luar yang masuk. Selain itu peran dalam melalukan perubahan sosial baik di lingkungan pesantren maupun masyarakat sekitar seperti pemberdayaan ekonomi sampai fatwa yang diminta masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politik, meskipun diketahuai tidak semua Kyai sebagai politisi. Dalam kondisi seperti itulah menjadikan Kyai sebagai culturalbrokers (agen budaya) di tatanan sosial yang ada.[3]
Sebenarnya dikatakan elit itu hanya sebagai minoritas yang terorganisir. Berlawanan dengan massa yang menjadi mayoritas tapi minim akan pengaruh serta kurang terorganisir. Sehingga kelompok elit lebih banyak menjadi penentu dalam setiap mengambil keputusan yang menyangkut hajat orang banyak. Elit sendiri pada hakikatnya sama dengan massa, hanya saja yang membedakaan elit lebih pandai dalam intelektual dan pandai membaca situasi keadaan, serta lebih mampu mengendalikan situasi.
Kyai juga bisa di golongkan dalam kelompok elit tersebut, yang mana memiliki pengaruh kekuasaan ditingkat lokal baik secara formal maupun non-formal. Dikatakan formal jika Kyai menduduki posisi jabatan secara administratif seperti jabatan eksekutif dan legislatif. Contoh konkrit Kyai menduduki jabatan formal ketika K.H Hasan Aminudin menjadi Bupati di Kabupaten Proboliggo. Bila non-formal, Kyai hanya menduduki jabatan strategis yang memiliki pengaruh langsung ke masyarakat seperti organisasi keagamaan atau kemasyarakatan. Jadi Kyai menempati segala kedudukan yang memiliki legitimasi secara formal maupun non-formal.
Secara umum figur Kyai hanya sebatas pada perannya yang dijadikan rujukan setiap persoalan agama yang muncul. Bukan berarti Kyai tidak memiliki hak dan dilarang untuk tampil dalam dunia politik. Karena secara teologi Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang mejadikan Islam sebagai landasan dalam menjalani kehidupan disemua bidang. Walaupun Al-qur’an hanya menggambarkan urusan politik secara universal tapi eksistensinya ada ketika nabi Muhammad S.A.W mempraktekannya sebagai pemimpin di negara Madinah. Tentunya gambaran ini menjadikan Kyai untuk ikut dalam dimensi politik yang berjalan.
Perpolitikan Kyai mengundang banyak komentar yang mengkritisi bahwa secara umum politik Kyai masih bersifat ekspresif dan belum bersifat instrumental[4]. Bersifat ekspresif karena masih banyaknya penggunaan simbol-simbol Islam, seperti penggunaan simbol bulan bintang, mengadakan istighotsah kubro, apel akbar ketika menghadapi masalah politik. Sedangkan instrumental menekankan pada kepawaian dalam lobi politik secara prefesional dan pengaruh dalam pengambilan keputusan politik secara langsung. Jika kedua sifat tersebut dimiliki Kyai, tidak mungkin tidak Kyai menjadi kekuatan politik yang jitu.
Kuatnya pengaruh Kyai biasanya kian terasa menjelang pemilihan umum presiden maupun daerah. Banyak para calon yang maju dalam pemilihan meminta restu ke para Kyai dengan tujuan mampu menarik vote gatter. Safari politik tersebut merupakan strategi yang biasa dijalankan guna membidik sasaran pemilih berbasis santri. Tak pelak terkadang muncul perbedaan pandangan politik antar Kyai. Sehingga memunculkan pecahnya suara pemilih di kantung-kantung suara basis pesantren.


2.2  Kekuatan Politik Kyai di Kabupaten Sumenep
Kh. Busyro Karim, bupati Sumenep
Di pulau Madura kultur keagamaan masyarakatnya begitu kuat terasa. Hal ini dipertegas oleh pendapat Kuntowijoyo yang menjuluki Madura sebagai “pulau seribu pesantren”.[5] Memang Madura memiliki stock Kyai yang melimpah dari Kyai langgar, Kyai pesantren, Kyai Tarekat hingga Kyai dukun. Kepatuhan masyarakat Madura terhadap Kyai teramat tinggi dengan anggapan bahwa setiap perkataan Kyai merupakan sesuatu kebenaran dan jika membantah akan menerima balak. Ungkapan itu berhubungan dengan semboyan masyarakat Madura “Buppa’, babu’, ghuruh, ratoh”. Buppa’ babu’ yang berati harus menghormati orang tua yang melahirkan kemudian disusul ghuruh atau seorang Kyai dan  terakhir ratoh yang berarti pemerintah.[6] Mayoritas masyarakat Madura merupakan warga Nahdliyin atau NU yang fanatik, kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah persebaran Islam di pulau garam tersebut.
Sumenep merupakan salah satu kabupaten yang ada dan terletak di sebelah timur pulau Madura. Luas wilayah kabupaten Sumenep 2.093,457573 km2 yang dihuni sekitar 1.041.915 jiwa.[7] Pada tahun 2010 lalu kabupaten Sumenep menggelar hajat demokrasi yang diikuti 8 pasang calon bupati. Dimana 4 calon dari 8 pasangan pasang calon yang terdaftar merupakan figur Kyai dan Nyai baik diusung partai politik maupun independen. Ke 3 Kyai tersebut yakni K.H Busro Karim yang diusung PKB, K.H Ilyas Siraj melalui jalur independen, K.H Saleh Abdullah dengan parpol Demokrat dan Golkar, dan Ny, Dewi Khalifah yang diusung PKNU. Pada pilkada tersebut pasangan K.H Busro Karim-Sungkono Siddik (ABUSIDDIK) sebagai calon terpilih harus bersaing dua putaran setelah pada putaran pertama hanya unggul tipis dengan selisih 1,2% atas pasangan Azasi Hasan-Nyai Dewi Khalifah (ASSYIFA) 21,64% melawan 20,44%. Sedangkan K.H Saleh Abdullah  mendapatkan 14,34% dan K.H Ilyas Siraj hanya meraup 7,72%.[8]
Pada dua periode sebelumnya Sumenep juga dipimpin bupati berlatar Kyai bernama K.H Ramdlan Siraj yang juga pimpinan pesantren Nurul Islam Karang Bluto. Situasi tersebut menandakan kekuatan calon bupati Sumenep masih terpaku pada sosok Kyai. Fenemona ini menunjukan bahwasanya di Sumenep Nahdlatul Ulama dengan  basis massa Nahdliyin sangat kuat.  Jika melihat perolehan suara pemilu 2009 partai-partai berlatar belakang Kyai semisal PKB berhasil meraup 125.393 sebagai suara terbanyak dengan 11 kursi disusul PPP dengan 60.647 dengan 7 kursi terakhir PKNU berhasil meraup 33.291 dan mendapat 4 jatah kursi.[9]Tentunya gambaran terebut menyimbolkan betapa kuatnya kultur santri di kabupaten yang memiliki semboyan Sumekar ini.
Setelah terpilih menjadi bupati di kabupaten Sumenep K.H Busro lantas tidak meninggalkan kebiasaanya sebagai Kyai dengan tetap mengajar kitab kuning di pondokya. Ciri khas sebagai figur agama tetap dibawanya dalam menjalankan aktifitas birokrasi. Gaya ini bisa terlihat ketika setiap rapat berakhir maka dilanjutkan dengan memimpin doa selain itu acara istighotsah yang pada awalnya digunakan untuk mendekatkan diri ke sang Khalik juga disiasti guna konsolidasi dan merangkul lawan politiknya dengan duduk bersama pada suksesi kepemimpinnya tersebut.
Seperti pendapat K.H Busro yang mengatakan bahwa menjadi bupati merupakan hal yang sah-sah saja bagi Kyai, dengan syarat mampu memenej kepemimpinanya dalam pemerintahan.[10] Track record K.H. Busro sebenarnya sudah teruji ketika memimpin DPRD Sumenep selama dua periode. Melalui kemampuan menagerial-nya itulah beliau mampu menundukan egosentris politik anggotanya. Memang pada dasarnya penyesuaian gaya kemimpinan ketika menduduki birokrasi dan pesantren harus dilakukan karena secara garis besar berbeda. Kondisi ini bisa dilihat posisi sentralistik ketika memimpin pesantren berbanding terbalik ketika memimpin lembaga pemerintahan semua kebijakan harus dirapatkan dan disidangkan.
Kelebihan yang dimiliki dari kepemimpinan Bupati berlatar Kyai ketika persoalan konflik muncul. Sebab dengan pengaruhnya yang besar  mampu menggiring opini massa dengan acara pengajian politik. Kepiawaian yang dimiliki  tersebut dimanfaatkan dalam mendogma masyarakat yang memiliki kultur keagamaan yang kuat supaya mengikuti setiap kebijakan dan keputusannya.





2.3 Kepemimpinan Bupati Kyai dalam kebijakan pembangunan daerah
        Adanya latar belakang yang berbeda dari sosok Bupati-Kyai menjadi perhatian utama dalam kepimpinanya pada dunia birokrasi. Diketahui dunia birokrasi tak jauh berbeda dengan Kyai beserta pesantrennya yang mana sama-sama membutuhkan manajerial. Walaupun ada permasalahan dalam manajerial di pesantren yang hanya bersandar pada seorang atau beberapa figur saja.  Kemampuan memanfaatkan kefiguran tersebut dari kultural ke ranah politik maka seharusnya memudahkan Kyai dengan kepatuhan religiuitas santri dan masyarakat memobilisasi dukungan pada preferensi kebijakan tertentu.
        Hal tersebut juga diterapkan K.H Busro Karim semenjak menjabat bupati Sumenep dengan terobosan-terobosan kebijakan yang dinilai suatu prestasi yang dapat dibanggakan, semisal kesuksesan pengajuan yudisial review ke MK tentang migas yang pertama alokasi keuntunganya lebih banyak masuk ke anggaran provinsi Jawa Timur menjadi ke kabupaten Sumenep.[11] Selain itu ada kebijakan yang membolehkan berobat gratis bagi warga diluar kabupaten Sumenep. Padahal aturan sebelumnya hanya diperuntukan bagi masyarakat asli Sumenep. Kabupaten Sumenep, menurut hasil survei tingkat kepuasan masyarakat, menempati urutan teratas dalam memenej kinerja SKPD mengungguli 3 kabupaten lain di Madura. Meskipun begitu dalam catatan Bappeda kebijakan-kebijakan bupati Sumenep masih banyak hanya mengulang program bupati periode sebelumnya.
        Ada juga muatan lokal politik bupati Sumenep yang muncul seperti fungsi pendopo yang awalnya dijadikan acara resmi kenegaraan bertambah fungsi menjadi tempat pengajian, khataman Al-qur’an, tahlil sampai akad nikah. Di lain sisi ketika pidato resmi pembukaan acara bisa berubah menjadi ceramah agama sekaligus aturan bagi PNS wanita yang di wajibkan memakai jilbab.
        Terkadang figur Kyai hanya jadi sebatas simbol ketika berhadapan pada kebijakan yang diambil tidak mempersentasikan ke-Kyai-anya. Dalam artian tidak lagi bisa mengayomi sebagian orang. Intervensi yang terlalu dominan membuat Bupati-Kyai mengambil langkah yang kurang tepat. Masalah ini pernah di alami K.H Busro yang memutasi jabatan seseorang tanpa prosedural yang berakibat munculnya masalah baru.

                                                                                         
2.4 Hambatan Kyai Sebagai Elit Politik
Setiap keputusan yang diambil selalu mengandung sebuah resiko dan dampak. Resiko itu muncul sekan-akan telah menjadi hukum alam yang berlaku. Apalagi ketika seseorang memutuskan untuk berkompetisi dalam gelanggang politik, konsekuensi menang atau kalah sudah lumrah adanya. Ditambah intrik politik yang kejam menurut sebagian orang menambah tantangan yang harus dihadapi serta persiapan mental baja juga harus diperlukan. Terutama dalam dunia politik yang kadang tidak mengenal mana kawan dan mana lawan. Semua hukum yang berlaku hanya berlandas kepentingan.
Begitu juga yang terjadi dalam diri Kyai yang sejatinya sebagai pengayom masyarakat dan sebagai elit dengan kharisma yang begitu kuat masuk dalam ranah politik. Derajat yang di pandang luhur oleh masyarakat dipertaruhkan. Tak menutup kemungkinan akan timbul saling serang antar kontestan politik melalui statemen dengan tujuan menjatuhkan kubu lawan. Pamor Kyai sebagai pemangku dan sosok yang tahu akan hukum agama diuji kualitas pada tiap tindakannya. Sebab jika melakukan kesalahan fatal dalam mengelurakan kebijakan atau perkataan bukan hal yang mustahil wibawa bupati sekaligus Kyai akan rontok. Tentunya situasi seperti itu harus benar-benar dicermati oleh para Bupati-Kyai.
Kenerja dalam mengemban jabatan bupati bukan perkara mudah, melakukan kesalahan akan menjadi sasaran tembak saingan politiknya. Lihat statemen yang dikeluarkan Dewi Khalifah yang mengatakan kecurangan yang dilakukan K.H Busro dengan memanipulasi suara pada pilkada Sumenep di tahun 2010 dan akibatnya dicapnya Bupati periode 2010-2015 tersebut sebagai pemimpin yang tak adil terutama dalam pendistribusian bantuan sosial. Masalah tersebut sebenarnya menjadi lampu kuning bagi K.H Busro sebagai bupati sekaligus Kyai yang menyandang simbol agama pada dirinya.
Dilain sisi dampak para Kyai terjun dalam politik praktis membuat terpecahnya masyarakat di akar rumput. Perpecahan tersebut bisa terlihat tak kala perbedaan pilihan politik ketika ada 2 orang Kyai yang maju dalam pemilihan umum. Umat akan beropini dalam menilai setiap calon dari Kyai yang maju, tidak saja opini yang baik tapi bisa jadi menjurus pada tuduhan-tuduhan yang tak berlasan. Efek dominonya Kyai yang dianggap sebagai waratsatul ambiya’ atau penerus para nabi kehilangan legitimasinya dalam mengurusi umat.

3.1 Catatan Akhir
Ada beberapa catatan yang dihasilkan dari penjelasan kepemimpinan Kyai menjadi bupati yakni:
1.      Kyai tetap menjadi elit lokal yang berpengaruh di masyarakat baik dalam menentukan masalah agama sampai urusan politik.
2.      Kemampuan memenej pemerintahan merupakan syarat terpenting dalam memimpin sebuah birokrasi.
3.      Kyai yang menjadi bupati mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencirikan kuat kultur agamanya. Dimana atribut-artibut keagamaan diformulasikan dalam pemerintahan daerah.
4.      Masuknya Kyai dalam dunia birokrasi dapat menghilangkan marwah Kyai sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang harus dihormati.


Daftar Pustaka

Azizah, Nurul. 2013. Artikulasi Poltik Santri dari Kyai Menjadi Bupati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chariri, Anis. 2011, Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen Independens Auditor Internal Pemerintah Daerah. Universitas Diponegoro,
Faridl, Miftah.2007,Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia.Sosioteknologi. 11(XI): 238
Kosim, Muhammad.2007. Kyai dan Blatter.UIN Sunan Ampel, 2 (XII) : 162
Hasil Pemilu Sumenep 2009.2009, 15 Juni. Vivanews.com. diakses pada tanggal 26 Oktober 2014 pukul 23.07.





[1] Anis Chariri. Pengaruh Konflik Peran dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen Independens Auditor Internal Pemerintah Daerah. Universitas Diponegoro, 2011, hlm. 5
[2] Nurul Azizah. Artikulasi Poltik Santri dari Kyai Menjadi Bupati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 2.
[3] Miftah Faridl. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia.Sosioteknologi. 2007.11(XI): 238.
[4] Azizah, op.cit., hlm. 61.
[5] Mohammad Kosim. Kyai dan Blatter.UIN Sunan Ampel, 2 (XII) : 162
[6] Ibid,.hlm 164.
[7] Azizah, op. Cit., hlm 109
[8] Ibid., hlm 134.
[9] Hasil Pemilu Sumenep 2009.2009, 15 Juni. Vivanews.com. diakses pada tanggal 26 Oktober 2014 pukul 23.07.
[10] Azizah, op.cit., hlm. 167
[11] Ibid., hlm 229.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi Oplosan ala Soekarno

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi  Oplosan  ala Soekarno Rasa jenuh pastinya menggelanyut diperasaan setiap masyarakat Indonesia jika memandang situasi  pemerintahan di Jakarta. Hal ini tak lepas media yang selalu memberitakan tayangan kisruh para elit politik kepada masyarakat. Kisruh yang tak kunjung usai setia mengiringi pemeritahan Jokowi-JK sejak dilatik pertengahan oktober 2014 silam. Keadaan ini diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menembus angka Rp.13.150, terburuk pasca reformasi. Harga  BBM yang tiap bulannya naik turun  diikuti melambungnya harga sembako yang kian hari semakin membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama bagi mereka kelas menengah kebawah. Perbedaan mencolok kemampuan ekonomi masyarakat juga menambah gap antara si kaya dengan miskin semakin lebar.  Perhatian serius harus ditekankan pada masa-masa transisi seperti ini karena hal yang tak mungkin bisa terjadi. Akibat dari rasa frustrasi masyarakat yang akut aka

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh"

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh" Makam Rosulullah S.A.W Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-o

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pembedaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pemberdaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia Abstrak Civil society atau masyarakat sipil merupakan komponen penyeimbang dari kekuasaan negara. Gerakan ini muncul melalui keinginan dan tuntutan hak dari masyarakat kepada pihak pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Oleh karenanya untuk mewujudkan tuntutan tersebut maka masyarakat membutuhkan alat untuk mengekspresikan dan menyalurakan keinginanya kepada penguasa. Kehadiran NU sebagai jam’iyyah dinniyah memberikan warna sebagai perantara untuk mendapingi masyarakat dalam berhubungan dengan hegemoni negara. Tugas organisasi NU juga sebagai pemberdaya masyarakat dalam menghadapi permaslahan-permaslahan yang muncul dikehidpan sosial menempatkan organisasi warga nahdliyyin tersebut menjadi salah satu ruh berdirinya NKRI secara seimbang baik menjasi social control maupun social engeneering. Pendahuluan              Civil socety   atau  masyarakat sipil merupakan sebuah bentuk gerakan