Sejarah Bedirinya Paham Asy'ariyyah
Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari, tokoh yang berjasa mempopulerkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, adalah seorang mantan Imam Agung aliran mu’tazilah. Hujjah-hujjahnya adalah oase bagi jamaah mu’tazilah yang setiap subuhnya berjumlah ribuan itu. Suatu hari di bulan Ramadlan, Rasulullah mendatangi beliau dalam mimpi. “Tolonglah ajaranku,” perintah Rasulullah kepada Ali bin Ismail, nama asli beliau. Lantas, beliau memberhentikan pengajian selama dua hari. Waktu itu beliau pergunakan untuk mendalami kajian tafsir dan hadis.
Di kesempatan selanjutnya, Rasulullah kembali hadir dalam mimpinya dengan perintah yang sama. Kemudian beliau jawab, “Bukankah sudah kulakukan ya Rasul?” Rasulullah tetap meminta Abu Hasan untuk menolong ajaran Rasul. Setelah beliau cerna dalam-dalam, terbukalah hati beliau, bahwa yang dimaksud Rasulullah adalah meluruskan akidah umat yang terlanjur dibelokkan oleh paham mu’tazilah. Sejak saat itu Abu Hasan memproklamirkan diri keluar dari mu’tazilah dan merumuskan akidah sesuai permintaan Rasulullah.
Sejak saat itu pula, paham mu’tazilah meredup dengan segera. Padahal, di masa sebelumnya, akidah mu’tazilah sangat sulit untuk ditaklukkan. Karena para ulama sebelumnya berdebat dengan mu’tazilah hanya menggunakan dalilnaqli. Sementara mu’tazilah memilih untuktaqdimul aqli, mendahulukan akal daripada nash. Ketika keduanya berseberangan, mutlak kebenaran adalah milik akal.
Dalam membantah mu’tazilah, Imam Abu Hasan memiliki pendekatan lain. Beliau dengan cerdas menggabungkan antara naqli dan aqli. Mu’tazilah yang senang menterjemahkan filsafat Barat (Yunani) pun kelimpungan. Bagaimana tidak, Abu Hasan belajar akidah mu’tazilah selama tiga puluh tahun. Dan di masa masih menjadi pemimpin mu’tazilah, tidak ada seorangpun dari golongannya mampu menandingi rasio dan kelugasan beliau. Inilah yang membuat akidah asy’ariah seakan berkuasa dan mu’tazilah tumbang.
Dari kesuksesan yang dialami Imam Asy’ari inilah, kerancuan hukum mempelajari filsafat terjawab. Bahwa filsafat bukan sesuatu yang haram. Bahkan, Imam Ghazali dalam salah satu risalahnya menyebut bahwa belajar filsafat bertaraf fardhu kifayah. Bagaimana bisa kita melawan para rasionalis dan liberalis, jika kita tidak memahami pola pikir mereka? Tentu kita akan dihajar habis-habisan, seperti ahlussunnah pra-Asy’ari.
Tentunya, filsafat yang bisa kita tempuh tidak sampai ke ranah bebas tanpa aturan. Tidak sampai ‘membebaskan ruang dari Tuhan’ seperti yang dialami oleh lembaga pendidikan atau kampus di berbagai daerah. Kita sudah mempunyai kaidah agama yang menjadi ruleuntuk kita taati.
Sebenarnya, sebelum dipopulerkan oleh Imam Asy’ari, ajaran ahlussunnah sudah berupa benih di tangan Sayyidina Abdullah bin Abbas. Ahlussunnah merupakan reaksi dari ketidakmampuan Islam bertahan dari perpecahan sejak ditinggal sang pembawanya, Rasulullah SAW.
Perpecahan di dalam tubuh Islam sudah dimulai bahkan sebelum jenazah Rasulullah dikebumikan. Kita tentu ingat peristiwa pembai’atan Abu Bakar sebagai Khalifah, yang didahului perdebatan kecil antara Muhajirin dan Anshar. Di saat itu, watak asli kaum Arab mencuat. Mereka sebelum Rasulullah datang sebagai juru damai, adalah kaum yang sangat loyal pada kelompoknya. Bani Hasyim, Khazraj, Aus, sering berseteru dengan kelompok bani lain. Ini membuktikan bahwa Rasulullah adalah juru damai paling tangguh.
Memang, perseteruan kecil yang terjadi di saat berkabung itu dapat diredam oleh Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Namun lubang perpecahan menganga jua ketika muncul gerakan emoh zakat dari beberapa orang. Ini terjadi hanya beberapa waktu dari resminya Abu Bakar menjadi Khalifah. Mereka menganggap, kewajiban zakat sudah gugur ketika Rasulullah wafat, karena sudah tidak ada lagi doa dari Rasulullah untuk mereka yang berzakat. Peristiwa ini ditengarai sebagai perpecahan pertama yang sudah diprediksi oleh Rasulullah di dalam hadisnya yang masyhur, tentang terpecahnya umat Islam menjadi puluhan golongan itu.
Perpecahan akhirnya benar-benar tumpah ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah. Muncullah golongan Rawafidl (pendukung Ali) dan Khawarij (penolak kebijakan Ali). Jelas, perpecahan ini bukan akibat dari perbedaan akidah, melainkan politik yang memaksa mereka bertingkah. Lantas, demi mengukuhkan posisi mereka, masing-masing dari dua kubu merumuskan akidah sendiri, sehingga mereka yang tidak sesuai dengan rumusan yang telah diputuskan dianggap kafir. Di masa inilah menyemai hadis-hadis maudlu’. Mereka menggunakan nama Rasul untuk menguatkan tindakan-tindakan mereka.
Memandang suasana semakin keruh, Abdullah bin Abbas, sahabat yang sangat cerdas, menarik diri dari pertikaian ini, dan merumuskan akidah yang benar. Beliau lah orang pertama yang mencetuskan istilah Ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Hal ini berdasarkan pada ucapan beliau saat mentafsirkan ayat:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
Beliau berkata: “Yakni pada hari kiamat, ketika bersinar wajah para pengikut ahlussunnah wal jama’ah dan menghitam wajah pengikut bid’ah.”
Istilah ahlussunnah beliau gunakan demi membedakan diri dengan kaum Rawafidl dan Khawarij. Memang, ada hadis yang didatangkan oleh beberapa pihak berbunyi, “Siapakah mereka ya Rasulullah (satu golongan yang selamat itu)?” “Mereka adalah ahlussunnah wal jamaah”.Namun oleh mayoritas ulama, hadis ini patut dikoreksi kembali.
Abdullah bin Abbas menegaskan, aswaja tidak terpengaruh apapun, selain yang datang dari Rasulullah. Berbeda dengan Rawafidl maupun Khawarij yang mengkafirkan sahabat yang tidak sepaham dengan mereka, beliau menganggap semua yang datang dari sahabat dapat diterima kebenarannya.
Kenapa? Karena hanya sahabat lah golongan yang memahami ajaran Rasul. Memang, seringkali ditemukan pendapat yang terlihat silang sengkarut antar sahabat. Namun, aswaja menyikapinya dengan bijak. Logikanya sederhana. Kita misalkan satu kampung rombongan ziarah Walisongo. Di antara mereka ada ustadz dan anak muda. Setelah ke makam, ziarah dilanjutkan ke Monas. Kalau kita tanya ke ustad, tentu dia menjawab ‘Makamnya ramai sekali.’ ‘Kalau monasnya gimana?’ ‘Alah, monas ya gitu-gitu aja. Cuma tugu yang ada emasnya’. Sementara anak muda akan menjawab ‘Makamnya ya tetap gitu aja.’ ‘Kalau monasnya?’ ‘Wah, di sana ramai.’
Perbedaan latar belakang tentu berakibat pada perbedaan tingkat kepahaman dan penafsiran. Meskipun sumbernya sama persis. Dan kita, aswaja, tidak bisa menghakimi siapakah yang benar, karena kita tidak ikut dalam perjalanan ziarah sebagaimana pemisalan di atas.
Apa yang menjadi dasar keyakinan aswaja adalah “Kullu shohabiy udulun.” Setiap sahabat itu adil. Semua pendapat sahabat benar. Tidak ada yang bisa dibatalkan. Namun, kita punya wewenang untuk memilih, pendapat mana yang akan kita gunakan. Ini sangat berbeda dengan Rawafidl maupun Khawarij.
Kita patut bersyukur. Ajaran aswaja dapat lahir dan sedemikian rupa mengalir memenuhi sungai-sungai akidah Nusantara sejak lampau. Karena jika tidak, mungkin saja kitalah aktor utama penyebar terorisme atas nama agama. Atau mungkin juga kita tergiur akan ujaran,“kembali ke ajaran Rasulullah” dan mengunyahnya mentah-mentah. Alhamdulillah.][
#Disarikan dari Seminar Aswaja Sebagai Penyeimbang Agama dan Budaya oleh KH. Muhibul Aman Ali (Pasuruan) di Lirboyo, 05 Nopember 2015.
Komentar
Posting Komentar