Langsung ke konten utama

Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pembedaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia


Peran Nahdlatul Ulama sebagai Pemberdaya Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia
Abstrak
Civil society atau masyarakat sipil merupakan komponen penyeimbang dari kekuasaan negara. Gerakan ini muncul melalui keinginan dan tuntutan hak dari masyarakat kepada pihak pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Oleh karenanya untuk mewujudkan tuntutan tersebut maka masyarakat membutuhkan alat untuk mengekspresikan dan menyalurakan keinginanya kepada penguasa. Kehadiran NU sebagai jam’iyyah dinniyah memberikan warna sebagai perantara untuk mendapingi masyarakat dalam berhubungan dengan hegemoni negara. Tugas organisasi NU juga sebagai pemberdaya masyarakat dalam menghadapi permaslahan-permaslahan yang muncul dikehidpan sosial menempatkan organisasi warga nahdliyyin tersebut menjadi salah satu ruh berdirinya NKRI secara seimbang baik menjasi social control maupun social engeneering.
Pendahuluan
            Civil socety  atau  masyarakat sipil merupakan sebuah bentuk gerakan masyarakat yang muncul untuk mengimbangi kekuasaan negara. Baik melalui pemberdayaan dan pembangunan sendi-sendi ketahanan masyarakat yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.  Gerakan masyarakat sipil sendiri mulai dikenal pada masa abad pertengahan di dunia barat. Di daerah timur tengah sendiri juga memiliki bentuk civil society dengan konsep yang di bawakan pada pemerintahan nabi Muhammad SAW. Banyak ahli menafsirkan pengertian civil society secara berbeda tergantung pada cara memilih pendekatan yang diambil. Bila mengunakan pendekatan Hegelian maka akan lebih cenderung pada pemberdayaan ekonomi kelas menengah. Pendekatan Gramscian lebih pada bagaimana cara masyarakat dalam menghadapi hagemoni sebuah negara. Pendekatan Gramscian disempurnakan dengan pendekatan Tocquevellian yang mentikberatkan penguatan organisasi-organisasi independen yang ada di masyarakat.[1]
            Gerakan masyarakat sipil muncul lebih cenderung pada peimplementasian niai-nilai dari konsep demokrasi. Dimana mayarakat bisa memperoleh hak-haknya sebagai warga negara serta menjalankan kehidupannya secara mandiri. Sehingga dalam bentuk negara yang oligarkhi atau otoriter gerakan masyarakat sipil kesulitan dalam menemukan ritme perjuanganya. Hal ini disebabkan kekangan negara yang membatatasi dan ikut campur dalam kehidupan masyarakat. Menurut Nurcholis Majid masyarakat sipil merupakan masyarakat yang memiliki sopan santun, beradab dan teratur.[2] Meski dalam pernyataanya Cak Nur lebih merujuk pada masyarakat madani, tapi bila membadingkan secara seksama antara pengertian masyarakat sipil dan masyarakat madani maka keduanya memiliki titiktemu yang sama-sama mengakui hak, kedudukan yang sama, menerapkan toleransi sekaligus memilih jalan musyawarah dalam mengambil keputusan.
            Di Indonesia gerakan masyarakat sipil berbentuk organisasi mulai muncul sebelum masa kemerdekaan melalui Budi Oetomo. Gerakan yang dimotori oleh Wahidin Sudirohusodo ini masih bersifat primodialisme. Begitu juga pada organisasi pemberdayaan yang muncul di Sumatera yang sama-sama masih menonjolkan usur kedaerahan. Organisasi berlatar belakang keagamaan juga muncul seperti Syarekat Islam (1911) yang awalnya berupa Syarekat Dagang Islam (1905), Nahdlatul Tujjar (kebangkitan usaha) pada 1918 dan Nahdlatul Wathan. Namun seiring dengan perjalanan dalam memperjuangankan kemerdekaan maka di Indonesia muncul gerakan yang lebih aspiratif semisal PUTERA.
            Selain dari itu terdapat beberapa gerakan yang lebih mengedepankan sosial-keagamaan baik memberdayakan maupun membangun masyarakat. Semisal dua organisasi terbesar yang ada Muhammadiyah yang didirikan tahun 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926.  Dua organisasi tersebut merupakan organisasi yang sudah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalan memberikan pelayan terhadap masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu gerakan yang dilakukan dari kedua organisasi kerap menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan setiap kebijakan pemerintah Indonesia mulai dari sejak memperoleh kemerdekaan hingga masa pasca orde baru sekarang.
            Dari keduanya memamang memiliki kesamaan dalam ikut mengarsiteki pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan keagamaan. Hanya saja basis dan latar belakang ranah yang dijadikan lahan garapan kedua organisasi sedikit berbeda yang mana sering dikemukakan Muhammadiyah lebih pada tatanan masyarakat perkotaan sebaliknya NU lebih pada masyarakat tradisional atau pedesaan. Sehingga sebenarnya bisa dikatakan jika menilai dari bentuk basis masyarakat yang diberdayakan, maka NU memiliki beban lebih berat. Hal ini tak lepas dari mayoritas penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh adalah masyarakat menengah kebawah.
            Dari aspek tersebutlah peran NU sebagai agen gerakan pemberdayaan masyarakt sipil harus terus memiliki strategi dalam mengupayakan peningkatan-peningkatan ketahanan ekonomi masyarakat. Namun tentunya gaya NU dalam memberikan pelayanan dan mendampingi masyarakat dalam memperoleh hak-haknya dari kekuasaan negara tak melepaskan dari prinsip aqidah ahlusunnah wal jama’ah  (aswaja). Posisi ini tetap akan menjadikan perjuangan NU dalam mewujudkan kebaikan masyarakat (Khoiron Ummah). Apalagi platform yang menjadi landasan semangat perjuangan sebagai gerakan sosial-keagamaan adalah Islam. Dengan konsep pemahaman Islam sebagai agama fitrah dan rahmat bagi semesta alam tentunya tidak hanya mengurusi hubungan masyarakat muslim (ukhwah Islamiyah) tapi juga hubungan antar manusia (ukhuwah bashariyah).
1        Sejarah Nahdlatul Ulama
1.1  Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama
            Awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) lebih disebab dari kekecewaan dari para kalangan ulama tradisional yang memang mayoritas dari para Kyai pesantren terhadap tidak ditampungnya aspirasi mereka dalam Kongres Khilafah di Hijaz. Kongres tersebut dimaksudkan untuk menetapan Khalifah Islam pasca digulingkanya Khalifah Abdul Majid pemimpin Daulah Usmaniyah  oleh pemimpin nasionalis Turki, Musthafa Kamal pada tahun 1924.[3] Aspirasi yang diusulkan oleh para ulama tradisional menyangkut jaminan kebebasan menjalankan praktik keagamaan menurut madzab empat (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) kepada delegasi Kongres Al Islam Indonesia yang akan ke Mekkah ditolak.
            Peristiwa ini terjadi akibat diundurnya Kongres Khilafah di Mesir yang disebabkan tergulingnya Syarif Husein pemimpin Hijaz oleh Abdul Aziz ibn Saud pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab paham wahabiah. Kondisi tersebut membut tim Komite Khilafah dari Indonesia yang sudah dibentuk terdiri dari ketua Wondoamiseno, wakil ketua KH Wahab Hasbullah, sekretaris A.M Sangaji dengan anggotanya bubar.[4] Baru ketika satu tahun berselang Kongres Khilafah diselengggarakan namun komite Khilafah Indonesia sama sekali tidak meyertakan ulama tradisional dalam tim delegasi. Hal inilah yang menjadi kekecewaan  para ulama tradisional KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan para Kyai lainnya. Perhatian utama dari kekhawatiran ulama-ulama tradisional kepada pengusa baru Hijaz ibn Saud yang sangat menentang terhadap pengamalan ibadah seperti tradisi tarekat, wirid berjama’ah, pembacaan perjuangan nabi (berzanji, maulid diba’, maulid simtud durrar, dll) maupun pengajaran kitab-kitab madzhab.
            Maka berawal dari kekecewaan tersebut memunculkan inisiatif dari kalangan ulama pesantren untuk membentuk sebuah komite yang diberi nama Komite Hijaz.  Komite Hijaz diketua oleh Hasan Gipo, wakil ditempati Saleh Sjamil, sekretaris Soegeng Joedodiwirjo, wakil sekretaris Kyai Abdul Halim, penasehat KH. Wahab Hasbullah, KH. Masjhoeri, dan KH Kholil.[5] Pada rapat yang dilakukan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 komite ini berhasil mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan ke Hijaz dan secara resmi organisasi Nahdlatul Ulama berdiri.  Meski pada tahun 1926 tidak mengirim delegasi ke Hijaz, namun NU tetap mengirim pesan melalui surat ke Raja Saud. Baru pada tahun 1928 delegasi NU yang diwakili KH Wahab Hasbullah berhasil menemui penguasa Saudi dan mendapat jaminan dalam praktik ibadah empat madzhab. Tentunya perjuangan NU memberikan andil besar terhadap Islam di dunia.
1.2  Peran Nahdlatul Ulama Masa Kemerdekaan
NU pada masa awal setelah berdirinya pada tahun 1926 mulai menegaskan jalan perjuangan organisasi tersebut dengan menunjukan sebagai gerakan organisasi non pemerintah (Ornop) atau NGO. hal in menyakut organisasi yang dibidani oleh para Kyai pesantren tidak memiliki ikatan apapun kepada kekuasaan eksekutif. Selain itu gerakan yang dilakukan disamping membahas persoalan agama yang meliputi meliputi penyebaran ajaran Islam sesuai ajaran empat madzhab, NU juga mengurusi masyarakat.  Aktivitas ini merujuk pada anggaran dasar NU yang menyebutkan untuk memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan Islam, membantu pembangunan masjid, pondok pesantren, menyantuni yatim piatu, fakir miskin dan mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggotanya.[6]
Dengan demikian maka sangat jelas peranan NU yang mulai mengimbangi perkembangan masyarakat perkotaan dengan langkah-langkh taktis membangun basic masyarakat pedesaan. Disinilah figur Kyai menjadi sangat disegani sebagai simbol panutan disamping dari penguasa tradisional yang menjadi kepanjanagn tangan pemerintah Belanda. Pada periode 1926- 1938 NU terus melakukan evolusi dari sekedar sebagai organisasi tempat berdiskusi keagamaan para ulama menjadi pondasi besar sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat. Jangkauan perhatian yang luas seperti dalam mendirikan kegiatan industri kecil dan pertokoan. Produk-produk yang dihasilkan dari industri masyarakat pun cukup bervariatif  seperti rokok, sajadah, peci, garmen, kopi, teh, sirup.[7]
Perluasan lingkup garapan NU juga menyentuh tuntutan-tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk memasukan pendidikan agama Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Selain itu konsolidasi kepengurusan organisasi mulai meluas dengan membuka cabang-cabang di daerah-daerah seluruh Indonesia. Momen terpenting yang menjadi kekhasan dari organisasi ini ketika adanya pemisahan kepengurusan tanfidziyah dan syuriah. Pemisahan ini lebih dimaksudkan untuk membedakan kedudukan Kyai yang menempati posisi di syuriah dengan tanfidziyah yang notabene adalah santri. Pada masa-masa itu, NU juga sudah mendirikan badan waqaf (1930), koperasi (1929), lembaga pendidikan Ma’arif dan Muslimat (1930). Muslimat sendiri merupakan wadah yang disediakan NU untuk menampung perempuan-perempuan anggota NU dalam  mengisi kegiatan jam’iyah khas NU. Selain itu Muslimat NU juga memberikan pelatihan-pelatihan masalah kewanitaan yang kemudian hari mulai merambah dibidang pendidikan usia dini. Pada tahun 1934 NU juga membetuk gerakan pemuda NU yang diberi nama GP Anshor. Gerakan pemuda ini hampir serupa dengan Muslimat hanya yang membedakan banom ini sebagai proses pengkaderan pemuda NU. GP Anshor juga memiliki sayap organisasi dengan nama Banser ( Bantuan Anshor Serbaguna) yang condong pada semi militer.
Pada tahun 1937 NU beserta Muhammadiyah, SI dan organisasi lainya bersepakat mendirikan Majelis Islam ‘ala Indonesia ( MIAI). Organisasi ini dibentuk untuk menggalang persatuan umat Islam dalam menghadapi peaturan-peraturan pemerintahan Belanda yang sangat merugikan umat Islam seperti masalah hukum waris, ordonasi perkawinan, milisi dan lain-lain.[8] Sehingga bila diamati lebih rinci pada masa-masa inilah NU mulai meniti jalan dalam bidang politik.  Perjalanan awal NU dipentas politik disini, lebih pada faktor setiap keputusan-keputusa yang dikeluarkan  NU dalam menyikapi  kebijakan kenegaraan.
Di masa jepang sendiri NU tetap menjadi satu komponen penting yang diperhitungkan oleh kekaisaran Jepang. Penempatan para tokoh sentral NU di pemerintahan utamanya dalam urusan keagamaan yang pada saat itu di departemen agama yang ketuanya diduduki oleh KH Hasyim Asy’ari. Melalui kedudukan inilah maka bentuk aktivitas NU dalam memberikan pelatihan bagi Kyai dalam pelajaran sejarah, kewaarganegaraan, senam, dan bahasa jepang bisa berjalan. Namun disisi lain hubungan NU dengan Jepang juga sempat memanas terkait penolakannya terhadap seikerei. Penolakan ini dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari yang mengakibatkan pecahnya perlawanan diberbagai daerah. Melalui NU juga pecahnya pertempuran 10 november di Surabaya menghadapi pasukan sekutu yang diboncengi NICA. Pada pertempuran tersebut NU melalui KH Hasyim asy’ari mengeluarkan fatwa yang dikenal dengan Risolusi Jihad yang mewajibkan segenap rakyat untuk akat senjata mempertahaankan kemerdekaan Indonesia.
1.3  Peran Nahdlatul Ulama Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, para tokoh nasional  mulai sibuk merumuskan dasar negara. Tarik ulur dari tokoh nasionalis-sekuler  dengan tokoh nasionalis-muslim menyangkut poin pertama yang ada dalam Piagam Jakarta menimbulkan perdebatan sengit. Para tokoh nasionalis-sekuler merasa keberatan terhadap kalimat “ ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka menganggap kalimat tersebut sangat deskriminatif bagi agama lain. Atas pertimbangan yang matang maka tokoh nasionalis-muslim yang memang terdiri dari perwakilan organisasi Islam mulai dari NU diwakili KH Wahid Hasyim, Muhammadiyah oleh KH Mas Mansyur, Serikat Islam oleh H Agus Salim yang menyetujui untuk menghapus beberapa kalimat dipoin pertama. Penghapusan tersebus diganti dengan kalimat ketuhanan yang maha esa yang sebenarnya juga mencirikan ajaran tauhid dalam Islam.
Langkah NU yang kian tahun mulai  aktif dalam politik semakin jelas terlihat ketika NU menjadi bagian dari partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Keanggotaan ini juga diikuti oleh Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat  Islam.[9]  Di Masyumi sendiri juga memiliki dua bidang yang diprioritaskan menjadi program utama partai yaitu bidang sosial dan ekonomi. Semisal disebutkan keinginan adanya UU kesejahteran umum, perlindungan buruh, perlindungan kaum tani, perlindungan kaum nelayan. Di bidang ekonomi untuk membuka lapanga pekerjaan, peningkatan ekonomi kerakyatan, pembatasan hak milik individu.[10] Walaupun pada akhirnya pada tahun 1953 NU menarik diri dari Masyumi akibat dari pembagian susunan kepengurusan yang dirasa tidak adil dan lebih menguntungkan pihak Islam Modernis. Tetap saja syahwat NU untuk masuk ke gelanggang politik cukup besar yang kemudian melahirkan partai NU yang ikut dalam Pemilu 1955 dan 1971. 
Perkembangan NU pada masa revolusi sebagai organisasi keagamaan sekaligus partai memang memiliki basis pendukung yang kuat. Basis massa yang dimiliki NU memiliki keunggulan yang mana militansi warganya yang sangat loyal. Posisi ini mengingat tumbuhnya NU berasal dari Kyai dan pesantren sehingga mempunyai pondasi organisasi kuat sampai ke akar rumput (gross roots). Pondasi massa yang besar ini pada masa itu hanya bisa disamai oleh PKI yang memang berhasil menggaet perhatian massa melalui organisasi-organisasi yang diklaim berafiliasi dengan PKI. Diantaranya Lekra yang bergerak dibidang seni budaya, Gerwani yang memberdayakan wanita, BTI yang mengakomodir para petani, Pemuda Rakyat, SOBSI mengakomodir para buruh, gerakan mahasiswa CGMI dan pelajar IPPI. Pasca pemilu 1955 yang memang antara NU dan PKI memiliki kultur sekaligus ideologi yang berseberangan, maka sering kali antara NU dan PKI bersitegang. Untuk menyaingi strategi mobilisasi massa yang dimiliki PKI maka NU juga membentuk beberapa organisasi underbouw tambahan seperti Pertanu yang mengakomodir para petani, Lesbumi yang menampung para seniman dan budayawan, Sarbumusi yang mengakomodir para buruh, IPNU untuk para pelajar, PMII untuk gerakan mahasiswa, dan beberapa banom yang sudah ada GP Anshor Fatayat dan Muslimat. Sehingga pada masa tersebut NU memiliki dua tujuan dalam membentuk badan pemberdayaan masyarakat baik dalam tujuan politik sekaligus usaha dalam membuat wadah aspirasi masyarakat sesuai bidang pekerjaan masing-masing.
Begitu pula pada rezim otoriter orde baru  yang menerapkan fusi partai ke tiga kelompok partai, NU juga sempat ambil bagian dalam Partai Persatuan Pembangunan. Meskipun hampir mengulang cerita serupa dengan apa yang terjadi ketika di Masyumi, yang kemudian kesepatan ini dijadikan alasan untuk melakukan Khittah 1926 pada Mukhtamar ke XXVII di Situbondo ( 1984). Keputusan kembali ke garis perjuangan NU seperti awal tujuan didirikanya sebagai organisasi sosial keagamaan juga dilandasi semakin tidak terperhatikannya kebutuhan dan permasalahan  yang dihadapi warga nahdliyyin. Unsur politik yang sebelumnya digeluti NU mengalahkan tujuan organisasi ini sebagai pengayom umat sesuai yang dirumuskan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab qonun asasi dan i’tiqad ahlusunnah wal jama’ah. Selain daripada itu akibat kekangan rezim orde baru yang kuat juga berdampak pada peran NU yang semakin terbatas dalam setiap menjalankan akitivitas organisasinya. Melalui para tokoh muda NU yang dipimpin KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang kemudian menjadi ketua PBNU berduet dengan Kyai Ahmad Shidiq sebagai Rais am membawa NU kembali ke rel perjuangan organisasi. Duet pimpinan NU inilah yang menjadi penggerak awal dari polemmik bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Dengan kembali ke Khittah 1926 tersebut NU memposisikan sebagai organisasi independen penghubung kekuasaan negara yang otoriter dengan masyarakat sipil.
Pada dekade 80-an tersebut geliat NU baik struktural maupun kultural mengalami metamorfosis yang cukup gemilang bila ditinjau dari nilai-nilai demokrasi.  Gerakan yang memang diilhami oleh Gus Dur dkk ini melahirkan NGO atau LSM baik yang beraliran pembangunan maupun gerakan. LSM atau NGO inilah yang menjadi senjata ampuh untuk memberikan pelaihan-pelatihan dalam memperdayaakan kualitas dan skill masyarakat sipil. Lahan garapan LSM-LSM baik struktural maupun kultural NU tidak sebatas pada masyrakat umum tapi juga mulai masuk memberikan tranformasi perubahan di dunia pesantren. Perubahan disini bukan dalam tataran merubah tatanan pesantren yang memiliki nilai-nilai kultul tersendiri semisal sitem patronase, tawadlu’ terhadap guru tapi lebih pada memberikan wawasan dan gagasan memahami permasalahan yang muncul di masyarakat. Tentunya perubahan ini tetap dalam bingkai pertimbangan maslahah mafsadah dan  doktrin NU, Al muahfazhah ala al qodimi al shalih wal-akhdzu bil jadidi al ashlah.
2        Gerakan NU dalam Pemberdayaan Masyarakat

 Atsmosfer pemberdayaan masyarakat mulai gencar dilakukan oleh Nahdlatul Ulama ketika Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU. Dari terpilihnya Gus Dur itulah LSM bernuansa ke NU an mulai menjamur pada kurun dekade 80-90 an. Banyak dari macam gerakan LSM tersebut sudah memiliki agenda masing-masing baik secara struktural yang langsung dibawah koordinasi PBNU atau secara kultural yang masih memiliki ikatan tradisi ke NU an.
2.1  Gerakan Kultural NU
Gerakan penguatan masyarakat sipil secara kultural disini mayoritas dilakukan oleh para kader muda NU. Mereka memilih berkiprah tanpa ikatan organsasi dimaksudkan supaya lebih leuasa dalam menentukan sikap intelektualitasnya. Seperti kegiatan yang dilakukakan Masdar Fuad Mas’udi yang dikenal sebagai pemikir progresif NU dengan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dengan tujuan untuk pemberdayaan pesantren.[11] Meski tidak terikat langsung dengan organisasi NU namun tim yang tergabung dalam LSM ini merupakan tokoh-tokoh NU diantaranya Gus Dur, KH Yusuf Hasyim, Abdulllah Syarwani dan Nashihin Hasan. P3M ini merupakan pegganti dari LSM sebelumnya LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang memiliki proyek yang serupa dalam meneliti perkembangan pesantren yang dianggap mampu melakukan transformasi sosial.  
Pada hakekatnya pesantren memiliki potesi yang luar biasa dalam proses pengembangan ilmu keagamaan sekaligus mampu menjadi agen pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Oleh karenanya, dalam program-program ke dua LSM diatas bersifat pengembangan kewirausahaan, pengembangan ketrampilan, pengembangan teknologi tepatguna dan kemandirian ekonomi pesantren. Selain itu juga LSM ini memberikan wawasan masalah anti korupsi, demokrasi dan good governance di pesantren-pesantren. Sudah banyak pesantren yang menjadi tempat  program dari P3M beberapa diantaranya PP Maslakul Huda Pati, membentuk unit pelayanan )UP) kepemimpinan dan masyarakat, PP Darul Falah Bogor UP Teknologi Pertanian, PP an-Nuqayah Madura, PP Nurul Jadid Probolinggo dan beberapa pesantren lainya di Jawa.[12]
Masih banyak LSM-LSM lainya yang memiliki ikatan emosi dan terlahir dari tkader-kader muda NU. Di Yokyakarta sendiri muncul Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang bergerak mengenai Islam, demokratisasi, HAM, Gender, Pluralisme dan banyak gagasan-gagasan pemikiran barat yang dikemas dengan hukum Islam. Melalui LKiS ini juga melahirkan NGO-NGO yang tersebar diberbagai daerah dengan mengusung program yang sama. Di Jakarta sendiri juga muncul LSM Foskabara, LSADI, Fahmina, Rahima dan Puan Hayati yang mengusung masalah gender.[13] Bagi para penganggum pemikiran Gus Dur mendirikan The Wahid Institute yang menggarap isu puralisme. Di Jawa Tengah juga muncul INDIPT sebagi pemerjuang gender yang memiliki kesimpulan bahwasanya perubahan yang diperoleh masyarakat merupakan usaha dari bawah (button up) bukan melalui pemerintah (top down)
Gerakan-gerakan progresif dari kalangan muda intelektual NU mengusung tema global setidaknya dilakukan untuk mendobrak pemikiran-pemikiran Islam klasik yang cenderung ketinggalan zaman. Para intelektual muda ini memberikan semacam resep untuk melakukan perubahan sosial melalui revitalisasi tradisi. Melalui gerakan yang dilakukan ini tidak semuanya mendapat dukungan dari beberapa Kyai senior. hal ini lebih menyangkut pada sebagian program sangat membahayakan keutuhan dan kemurnian ajaran Islam.
2.2 Gerakan NU Struktural
Penguatan pada masyarakat sipil secara struktural dilakukan NU di era kepengurusan Gus Dur di awali dengan membentuk Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakspesdam). Arah gerak LSM ini lebih menekankan pada pengimplementasian syu’un ijtima’iyah atau kepedulian sosial. Model gerakan Lakspedam sendiri dalam masalah pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan, kewirausahaan pertaniaan, budidaya perikanan dan kegiatan lainya. Basis garapan Lakspesdam lebih menyasar kepada masyarakat umum utamanya warga nahdliyyin dan bukan masyarakat pesantren supaya tidak terjadi tumpang tindih dengan program dari P3M.
NU dalam usahanya sebagai agen penguat masyrakat sipil tidak hanya melakukan pemberdayaan melalui satu atau dua lembaga saja. Keseriusan  ini dibuktikan dengan mendirikan badan-badan yang menyasar hampir semua lapisan masyarakat. Pendampingan yang diberikan bukan hanya terhadap warga nahdliyyin tapi lebih tepatnya terhadap seluruh rakyat Indonesia. Diantaranya badan pemberdayaan dan pelayanan yang tercatat dibawah naungan NU kepada masyarakat yakni LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama), LPKNU (Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama), LKKNU (Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama), Lazisnu (Lembaga Zakat, Infaq, Shodaqoh Nahdlatul Ulama), LPBHNU (Lembaga Penyambung Bantuan Hukum) LPBINU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) dan masih banyak lemaga lainnya. Apalagi peran penguatan masyarakat sipil tersebut masih mendapat tambahan tenaga dari anggota-anggota banom-banom NU lainya, GP Anshor, Muslimat, Fatayat, IPNU dan ISNU.
Sebenarnya usaha PBNU sempat mengeluarkan kebijakan untuk memberikan pelayanan simpan pinjam bagi peningkatan ekonomi masyarakat kecil dengan mendirikan 3000 unit BPR yang bekerja sama dengan Bank Summa. Namun kebijakan ini hanya berhasil mendirikan 9 unit BPR saja dengan nama Nusumma.[14] Dengan demikian dapat dikatakan begitu vital peran organisasi NU dalam kikutsertaanya membangun dan menguatkan masyarakat sipil dari hagemoni negara.
3        Tantangan NU sebagai Gerakan Sipil di Masa Depan
Memahami betapa pentingnya pemberdayaan masyarakat sehingga terciptanya civil society yang kuat, maka hal itu tak lepas dari aktor-aktor yang ikut berperan didalamnya. Nahlatul Ulama yang sebagai organisasi berusia 89 tahun setidaknya juga memiliki kemampuan dan pengalaman dalam mengurusi dam memberdayakan umat. Dari semuanya itulah sebagai bagian NGO yang baik dan dalam rangka meningkatkan kualitas program-program NU maka kemandirian dalam keuangan menjadi komponen penting untuk menjaga independensi sekaligus intervensi kebijakan dari pihak luar. Apalagi dizaman dengan arus globalisasi yang membawa berbagai ideologi mulai yang aliran ekstrim kiri dan ektrim kanan yang dapat membahayakan marwah organisasi terbesar di Indonesia tersebut.
Pernyataan tersebut berkaitan masih banyaknya LSM-LSM baik secara kultural maupun struktural mengandalkan bantuan dana dari lembaga-lembaga donor luar negeri. Hal inilah yang memunculkan stigma negatif dari berbagai kalangan tentang independensi LSM-LSM tersebut yang diduga hanya dijadikan alat penyebar kepentingan global. Seperti pada P3M, Fahmina, Lakspesdam yang menginduk pada bantuan Asia Foundation, The Wahid Institute dengan Tifa Foundation, LkiS dengan USAID dan Ford Foundation dan LSM NU yang lainya. Kondisi seperti ini sebenarnya harus segera diselesaikan demi terwujudnya NGO yang sehat.
Di sektor lain dengan basis massa yang mencapai puluhan juta membuat lahan garapan NU cukup berat. Maka tak heran NU mendirikan cabang-cabang kepengurusan diseluruh wilayah Indonesia. Dengan banyaknya kepengurusan didaerah kerap kali keputusan dan kebijakan dari PBNU selaku pengurus pusat tidak bisa sinkron dengan keputusan di kepengurusan daerah.  Sebagai organisasi besar situasi sedemikian rupa sebaiknya tidak sampai terjadi demi keserasian jalanya organisasi NU yang juga berdampak pada pelayanan terhadap umat. Wallahu’alam bisshowab








DAFTAR PUSTAKA


Ali, As’ad Said2008. Pergolakan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati,Jakarta: LP3ES.
Falaakh, M. Fajrul. 2010. Gus Dur, NU dan Masyarakat  Sipil, Yogyakarta: LkiS.
Madjid, Nurcholis. 1999. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, Pengantar untuk Ahmad Baso dalam Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah.
Martin van Bruinesen.2008. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,Yokyakarta: LkiS.
Muhammad A.S Hikam. 1999. “Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia”, dalam jurnal Paramadina, vol.1, No.2, tahun 1999.
Noer.Deliar.1987.Partai Islam Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Press.
Sitompul,Einar Martahan. 2010. NU & Pancasila, Yokyakarta:LkiS.




[1] Muhammad A.S Hikam. 1999. “Wacana Intelektual Tentang Civil Society diIndonesia”, dalam jurnal Paramadina, vol.1, No.2, tahun 1999. Hlm 40
[2] Madjid, Nurcholis. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi:Tantangan dan Kemungkinan”, Pengantar untuk Ahmad Baso dalam Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran CivilSociety dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah. 1999. hlm 80.
[3] M. Fajrul Falaakh, Gus Dur, NU dan Masyarakat  Sipil, Yogyakarta: LkiS, 2010, hlm.178.
[4] Ibid.,
[5] Ibid., hlm 179
[6] Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, Yokyakarta:LkiS, 2010. Hlm 65.
[7] Falaakh, op.cit., hlm 182
[8] Sitompul, op.cit., hlm 76
[9] Deliar Noer.Partai Islam Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Press. 1987. hlm 48-49
[10]Ibid., hlm 119-120.
[11] As’ad Said Ali. Pergolakan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati,Jakarta: LP3ES.2008.hlm 54.
[12] Martin van Bruinesen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,Yokyakarta: LkiS.2008 hlm 222.
[13] Ali, op.cit., hlm 160-161
[14] Ibid., hlm 137

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi Oplosan ala Soekarno

Konsep Nasakom, Gagasan Ideologi  Oplosan  ala Soekarno Rasa jenuh pastinya menggelanyut diperasaan setiap masyarakat Indonesia jika memandang situasi  pemerintahan di Jakarta. Hal ini tak lepas media yang selalu memberitakan tayangan kisruh para elit politik kepada masyarakat. Kisruh yang tak kunjung usai setia mengiringi pemeritahan Jokowi-JK sejak dilatik pertengahan oktober 2014 silam. Keadaan ini diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menembus angka Rp.13.150, terburuk pasca reformasi. Harga  BBM yang tiap bulannya naik turun  diikuti melambungnya harga sembako yang kian hari semakin membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama bagi mereka kelas menengah kebawah. Perbedaan mencolok kemampuan ekonomi masyarakat juga menambah gap antara si kaya dengan miskin semakin lebar.  Perhatian serius harus ditekankan pada masa-masa transisi seperti ini karena hal yang tak mungkin bisa terjadi. Akibat dari rasa frustrasi masyarakat yang akut aka

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh"

Ternyata Mengkeramatkan Kuburan Itu "Boleh" Makam Rosulullah S.A.W Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-o