Rasa jenuh pastinya menggelanyut diperasaan setiap masyarakat Indonesia jika memandang situasi pemerintahan di Jakarta. Hal ini tak lepas media yang selalu memberitakan tayangan kisruh para elit politik kepada masyarakat. Kisruh yang tak kunjung usai setia mengiringi pemeritahan Jokowi-JK sejak dilatik pertengahan oktober 2014 silam. Keadaan ini diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang menembus angka Rp.13.150, terburuk pasca reformasi. Harga BBM yang tiap bulannya naik turun diikuti melambungnya harga sembako yang kian hari semakin membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama bagi mereka kelas menengah kebawah. Perbedaan mencolok kemampuan ekonomi masyarakat juga menambah gap antara si kaya dengan miskin semakin lebar.
Perhatian serius harus ditekankan pada masa-masa transisi seperti ini karena hal yang tak mungkin bisa terjadi. Akibat dari rasa frustrasi masyarakat yang akut akan memunculkan suatu gerakan revolusi. Gerakan revolusi ini bisa diikuti dengan bangkitnya ideologi sosialis-komunis yang memang sasaran anggotanya dari masyarakat kelas proletar baik buruh maupun petani. Meski baru sebatas prediksi penulis, situasi tersebut tidak bisa dianggap sebelah mata, sebab jika hal diatas tejadi berapa banyak nyawa yang akan dikorbankan.
Berbicara masalah sosialis-komunis, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan ideologi yang satu ini. Memang sudah sekitar setengah abad pasca runtuhnya rezim orde lama ideologi dari kolaborasi pemikiran Karl Marx dan Lenin ini dikekang persebaranya dibawah pemerintahan Soeharto. Pembatasan ini tak lepas dari sejarah Partai Komunis Indonesia yang beraliran sosialis-komunis berulang kali melancarkan aksi makar kepada pemerintahan sah Republik Indonesia. Tentunya aksi tersebut menimbulkan perasaan traumatis kepada setiap elemen masyarakat Indonesia.
Jika melihat perkembangannya, ideologi sosialis-komunis mulai masuk di Indonesia sejak sebelum tahun 1945. Pernyataan ini merujuk dari tulisan Soekarno tahun 1926 yang meramu ideologi nasionalisme, Islam dan Marxis pada konsep pemikiranya. Konsep tersebut dilanjutkan dan dimatangkan Soekarno ketika telah menjadi presiden pertama Republik Indonesia dengan istilah Nasionalis-Agama-Komunis atau disingkat Nasakom pada pidato 17 agustus 1960.[1] Konsep ini oleh Soekarno dianggap sebagai langkah untuk menggabungkan tiga ideologi besar yang berbeda kedalam satu wadah pemerintahan. Cita-cita hebat Soekarno tersebut tak berjalan lurus sesuai harapanya. Mulai dari penolakan golongan agama terhadap komunis yang pada dasarnya memiliki cara berpikir yang sangat bertolak belaka utamanya pada masalah ketuhanan. Golongan komunis sendiri yang diwakili oleh PKI sering melakukan tindakan-tindakan yang menjurus pada perbuatan makar. Situasi an kondisi tersebut menambah sulit bagi Soekarno untuk merealisasikan konsep pemikiranya. Efek klimaks nya terjadi pada aksi PKI pada tahun 1965 yang berujung pada hilangnya jabatan Soekarno sebagai presiden Indonesia.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme Soekarno
Pemikiran Soekarno sangat alergi akan adanya imperialisme-Kapitalisme menjadikanya sebagai orang yang selalu berkampanye akan ganasnya paham asal negara barat tersebut. kealergian Soekarno terhadap imperialisme-Kapitalisme terlihat pada tulisan-tulisanya pada koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam dengan bunyi “Hancurkan segera kapitalisme yag dibantu oleh budaknya imperialisme. Dengan kekuatan Islam Insya Allah itu segera dilaksanakan.”[2] Menurutnya paham imperialisme-kapitalisme sangat tidak manusiawi, terkait sistem yang dijalankan menggunakan eksploitasi sesama manusia. Sistem itulah yang memunculkan kesengsaraan dan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga akibat pengusaan ekonomi oleh negara yang lebih maju.
Sikap yang keras terhadap imperialisme-kolonialisme inilah yang membawa pemikiran Soekarno untuk merangkul semua kekuatan ideologi yang ada kedalam bingkai konsep pemikirannya. Nasionalisme dipahami oleh Soekarno sebagai pemersatu yang kemudian dijadikan tumpuan penyimbang antara islamisme dan marxisme. Usahanya ini dilakukan guna membangun rasa persatuan senasib seperjuangan dalam melawan penjajah Belanda. Rasa persatuan yang dipupuk Soekarno tidak mungkin terwujud jika antar aliran yang ada di Indonesia berjalan sendiri-sendiri. Strategi Soekarno inilah yang kemudian hari menjadi kekuatan utama dalam setiap proses pergerakan melawan penjajah sekaligus sebagai roh dari revolusi yang selalu didengungkan.
Kedudukan Nasionalisme sendiri bila diartikan secara sempit hanya sebatas pada rasa cinta terhadap tanah airnya. Namun konsep nasionalisme yang ditawarkan oleh Soekarno berbeda. Hendaknya dalam memahami nasionalisme pemikiran Soekarno harus juga mampu memposisikan rasa menghargai bangsa-bangsa lain. Konsep ini merujuk pada seringnya Soekarno meminjam kata-kata Mahatma Gandhi “ nasionalisme adalah kemanusiaan.”[3] Jika di tafsiri perkataan tersebut sebagi bentuk upaya bagaimana seseorang yang merasa memiliki jiwa nasionalis tidak hanya mementingkan kemampanan diri sendiri dan negaranya tapi juga memiliki rasa empati atas kesusahan bangsa lain.
Gagasan nasionalisme Soekarno disosialisasikan melalui rapat-rapat akbar yang menyedot massa yang cukup besar. Tak heran jika dampaknya begitu terlihat dimana mulai munculnya kesadaran akan pentingnya persatuan. Dengan penyampaian meledak-ledak khasnya, Soekarno mampu membius massa yang hadir dalam rapat yang juga mulai mengelu-elukan sosoknya. Soekarno ecara pribadi menyadari tiada manfaat dengan jumlah penduduk yang besar tanpa dibarengi adanya persatuan.
Dalam setiap gagasan pemikirannya Soekarno juga tidak pernah lepas dari ajaran-ajaran Islam. Perkenalan Soekarno dengan Islam lebih banyak ketika beliau tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto salah satu tokoh Sarekat Islam di Surabaya. Begitu pula ketika pindah ke Bandung beliau berkenalan dengan Achmad Hassan, tokoh Pemersatu Islam.[4] Melalui kedekatan dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu Soekarno mulai menggali pola pemikiran Islam untuk dimasukan kedalam setiap gagasan-gagasan kebangsaannya. Secara konteks dalam memahami Islam, Soekarno menempatkan akal atau rasio dalam memahami setiap ajaran Islam. Gaya pemahamamn Islam Soekarno tersebut lebih di ilhami oleh gaya berpikir tokoh pembeharu Islam AL-Afghani dan Muhammad Abduh.[5]
Gaya pemikiran Soekarno sedemikian rupa mirip dengan gaya pemikiran aliran mu’tazilah. Dimana keduanya memiliki kesamaan dalam menempatkan akal sebagai kompoen tertinggi untuk memahami ajaran Islam. Soekarno sendiripun menempatkan dirinya pada posisi tengah-tengah antara aliran pembaharu yang lebih menekankan pada pemurnian agama Islam dari unsur-unsur Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat dengan aliran tradisional yang setiap pemahaman agamanya merujuk pada kitab-kitab ulama terdahulu. Disitulah letak ketidaksetujuan Soekarno terhadap kedua aliran teologi yang ada yang menurutnya sebagai sumber kemunduran karena cara berpikir kedua aliran tersebut sebenarnya sama-sama tradisional.[6] Soekarno juga menekankan sebenarnya semua masalah agama dapat dipecahkan melalui akal termasuk dala menafsirkan dan memahami Al-qur’an dan Hadist. Setidaknya dengan penyesuaian oleh akal Islam akan lebih bisa dinamis dan terus mampu mengikuti zaman.
Dalam tahapan hubungan Islam dan Negara Soekarno menempatkan kedua komponen tersebut sebagai hal yang berbeda dan terpisah. Bagi Soekarno tidak perlu adanya penyatuan agama dengan negara karena hal ini tidak pernah diterangkan oleh Alquran. Pernyataan ini juga yang membuat Soekarno sering berdebat dengan M.Natsir dan tokoh-tokoh partai Masyumi. Seperti dalam kutipan kata-kata Soekarno “apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk suatu orang,untuk semua golongan ? sudah tentu tidak? Kita mendirikan negara semua buat semua,”[7] Soekarno juga menekankan hal yang terpenting adalah bagaimana bisa menerapkan etika Islam dalam bernegara.
Gaya memahami relasi agama dan negara yang harus dipisah oleh Soekarno dipahaminya melalui kebijakan Kemal Attarturk dalam membawa Turki ke negara Sekuler. Pemikiranya tentang memisahkan agama dan negara bukan berarti anti akan adanya syariat ditegakan di Indonesia, tapi lebih diserahkan pada mekanisme di parlemen. bagaimana ketika upaya perwakilan Islam mampu menguasai suara mayoritas dan mampu mengeluarkan hukum-hukum Islam melaui undang-undang. Tapi sekali lagi menebak gaya berpikir Soekarno yang tidak terlalu fanatik pada apa yang akan menjadi dasar negara asalkan kesemuanya itu mampu memupuk satu persatuan.
Menelisik pandangan Soekarno menyangkut pemikiran Karl Marx dengan teori marxisnya, Soekarno sangat sepemikiran apalagi menyangkut dengan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Seperti kutipan Soekarno yang identik dengan kaum marxis “ Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.”[8] Kesamaan lainya terletak pada adanya kesadaran akan persamaan kelas dan keyakinanya akan prediksi-prediksi marxisme tentang penghancuran imperialisme melalui perjuangan kaum proletar terhadap borjouis. Perkenalan Soekarno dengan teori Karl Marx ini pertama kali melalui sahabatnya Alimin dan Semaun yang keduanya merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia.
Namun dari pemikiran Karl Marx itu, Soekarno tidak menelan mentah-mentah konsep teori yang ditawarkan Karl Marx. Soekarno tetap menggunakan analisis kritis untuk menyesuaikan teori marx dengan kondisi Indonesia. Semisal perjuangan kelas yang diperjuangkan Marx tidak berlaku baginya. Soekarno lebih pada upaya persamaan kelas dengan menempatkanya sejajar dengan pemilik modal. Apalagi seorang Soekarno yang nasionalis menginginkan perjuangan nasional, revolusi yang dilakukan bersama-sama dalam menggulingkan kekuasaan imperialis-kapitalis. Revolusi yang diartikanya sebagi perjuangan terus menerus oleh suatu bangsa. Disis lain Soekarno lebih menyukai istilah marhaen bagi kelas proletar di Indonesia. Penyebutan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dan lebih cocok untuk kondisi Indonesia yang agraris sekaligus untuk menghindari kesan adanya perbedaan-perbedaan kelas. Penyebutan marhaen ini pula diharapkan mampu mencakup semua golongan yang ada dalam payung satu komando revolusi. Soekarno secara tegas juga menolak tuduhan kalau Marxisme itu komunis, dalam pemikiranya marxisme merupakan cara pemikiran yang difungsikan untuk memahami perjuangan dengan tujuan tercapainya masyarakat yang adil.[9]
Konsepsi Nasakom suatu Blunder Politik Soekarno
Mempertegas konsep pemikiran Soekarno pada tahun 1926 yang diterbitkan di koran Indonesia Moeda dengan judul “ Nasionalisme, Islam,dan Marxisme”, Soekarno kembali menggagas konsep serupa yakni Nasakom atau Nasionalisme-Agama-Komunisme pada tahun 1960.[10] Seperti konsep yang pertama Nasakom dimaksudkan untuk menggalang persatuan dari 3 ideologi besar yang ada di Indonesia. Pemikiran politik Soekarno yang nasionalis tetap konsisten mempertahankan kesatuan ideologi dalam membawa panji revolusi. Soekarno ingin menunjukan gaya pikiran politiknya yang berbeda dengan mencampurkan 3 ideologi politik yang berlawanan kedalam satu wadah pemerintahan secara seimbang. Sehingga melalui Nasakom jalanya roda pemerintahan demokrasi terpimpin bisa berjalan dengan baik. Keloyalan Soekarno terhadap Nasakom terlontar pada setiap pidatonya seperti ungkapan pidato Soekarno di acara Mubes tani seluruh Indonesia di Senayan
“Revolusi Indonesia hanyalah bisa selesai kalau bangsa Indonesia ini bersatu-padu,bahwa Nasakom bukan saja kita lihat sebagai satu phenomeen bersatu, tetapi saya meminta kepada seluruh kaum tani,seluruh kaum buruh, seluruh sukarelawan, seluruh Angkatan Bersenjata,supaja berkata, Nasakom jiwaku, Nasakom jiwaku, Nasakom jiwaku! “[11]
Harapan yang begitu besar disandarkan Soekarno dengan disatukanya isme-isme yang ada di Indonesia membuatnya memiliki cara berpikir yang khas dan akomodatif. Jauh sebelum konsep Nasakom disampaikan pada pidato di tahun 1960, Soekarno sudah berkeinginan membentuk Kabinet Gotong Royong yang diisi oleh 4 besar partai yang memperoleh suara terbanyak. 4 partai papan atas tersebut didasarkan pada peroleh suara pemilu tahun 1955 yang terdiri dari PNI (22,1%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%) dan PKI (16,3%).[12] Menariknya ke 4 partai papan atas tersebut telah mewakili dari 3 ideologi yang berbeda dengan PNI sebagai partai berideologi Nasionalis, Masyumi dan NU dengan ideologi Islamis sedangkan PKI dengan ideologi Komunis. Kabinet yang direncang Soekarno tersebut dijuluki oleh Moh.Hatta sebagai politik “Kuda berkaki empat”.[13] Pernyataan tersebut dilontarkan Moh. Hatta sebgai bentuk ketidaksetujuannya atas gagasan Soekarno melibatkan PKI kedalam kabinet. Ketidaksetujuan Moh. Hatta cukup beralasan melihat sepak terjang PKI dalam masa revolusi yang bermuka dua ditambah aksi pemberontakan PKI di Madiun yang menginginkan berdirinya negara Soviet. Sebaliknya Soekarno malah memandang PKI berbeda dengan partai komunis yang ada di negara-negara lain.
Kedudukan PKI bagi Soekarno dijadikanya sebagai partner yang memiliki kesamaan dalam melawan imperialisme-kapitalisme sekaligus penyeimbang kekuatan angkatan darat yang mulai tidak sependapat dengan kebijakan-kebijakan Soekarno. Apalagi melihat PKI sebagai partai yang memiliki massa pendukung yang cukup besar akan memudahkan Soekarno dalam mempopulerkan agenda-agenda revolusinya. Kebesaran massa PKI tampak ketika pada momen HUT PKI ke-45 pada 23 Mei 1965 di Stadion Gelora Bung Karno yang dihadiri kurang lebih seratus ribu orang.[14] Dengan dukungan PKI dan massanya, Soekarno semakin yakin akan lancanya setiap kebijakan yang dijalankanya melalui konsep Nasakom nya.
Konsep Nasakom Soekarno memaksa bertemunya tiga aliran yang berbeda kedalam satu wadah menjadikan konsepnya sebagai bom waktu bagi kekuasanya sendiri. Salah satunya yang membuat Soekarno kecolongan ketika memasukan unsur komunis ke dalam konsepnya. Soekarno seakan-akan melupakan catatan hitam yang melekat pada diri PKI yang memiliki sifat oportunis. PKI meminjam sosok Soekarno sebagai dewa pelindung dalam sepak terjang politiknya. Perlidungan yang Soekarno berikan pada PKI menyangkut keyakinanya pada partai palu arit tersebut yang benar-benar memiliki visi yang sama berjuang memsejahterakan golongan marhaen. Sikap istimewa Soekarno ini diberikanya hanya karena memperjuangkan konsep persatuan Naskom agar berjalan lancar. Padahal sebelumnya pada tahun 1948 melalui pimpinan PKI Musso melancarkan makar yang berpusat di Madiun. Tapi anehnya Soekarno tetap memberikan kesempatan pada PKI untuk ikut serta kembali tepatnya pada pemilu 1955 dalam memwujudkan Indonesia yang berdikari. Soekarno memiliki pendirian yang sulit ditebak khususnya pandanganya terhadap PKI yang dianggap sebagai salah satu kekuatan revolusioner yang tidak mungkin dibubarkan apalagi kesalahan yang dilakukan PKI di tahun 1948 akibat dari ulah segelintir orang saja. Hal berbeda Soekarno berikan pada partai Masyumi dan PSI yang sama-sama terlibat pemberontakan Permesta/PRRI yang berujung pada pembubaran kedua partai tersebut.
Bom waktu tersebut benar-benar meledak di tahun 1965 melalui gerakan 30 september yang diduga didalangi PKI. Gerakan yang dilancarkan tersebut dianggap sebagai bentuk penyelamatan jalannya revolusi dari isu kudeta yang dilancarakan dewan jenderal angkatan darat. Akibatnya terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal oleh anggota-anggota PKI melalui pasukan kepresidenan, Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung. Gerakan 30 september yang dilancarkan pada tengah malam tersebut diprakarsai D.N Aidit selaku ketua PKI sekaligus menjabar sebagi menteri perekonomian . Keinginan para anggota PKI untuk segera membentuk dewan revolusi sudah dirancang sedemikian rupa yang pada aksinya diawali dengan menculik para jenderal yang kemudian diikuti penguasaan-penguasaan tempat-tempat stratgis seperi kantor RRI. Penculikan para jenderal yang dilakukan bukan dengan tanpa alasan, melainkan lebih karena faktor permusuhan yang terbentuk sejak lama. Para jenderal pada umumnya sangat anti dengan PKI pasca penghiatan tahun 1948 di Madiun. Permusuhan keduanya semakin meruncing ketika penolakan para jenderal terhadap pembentukan angkatan ke V yang diusulkan oleh PKI meski mendapat persetujuan Soekarno.[15] Usulan tersebut ditolak dewan jenderal angkatan darat dengan alasan pertama, ke empat angkatan bersenjata yang sudah dimiliki Indonesia lebih dari cukup. Untuk alasan kedua dewan jenderal mencium siasat PKI untuk memanfaatkan angkatan ke V sebagai unjung tombak dalam melawan angkatan darat. Sebab sudah menjadi rahasia umum bila angkatan darat tak akan membiarkan PKI menguasai negara melalui kotak suara maupun peluru.[16]
Aksi kudeta PKI yang dilancarkan tidak berjalan lancar bahkan cenderung gagal. Strategi kudeta yang disusun yang kurang matang dapat dengan mudah dipadamkan oleh TNI dibawah komando jenderal Soeharto dalam tempo kurang dari 24 jam pasca aksi PKI dilancarkan. Seketika itu pula kebesaran PKI dengan massanya luluh lantak yang diikuti dengan aksi pengganyangan anggota-anggota PKI ditingkat daerah.
Stabilitas keamanan ditingkat lokal sendiri juga ikut memanas pasalnya PKI sudah sejak lama melakukan aksi provokatif kepada masyarakat non anggota PKI. Mereka menarget pada para tuan tanah bahkan tanah milik negara dengan meyerobot atau mengkavling lahan sesuai kehendak para anggota PKI. Provokasi serupa juga ditujukan khusus untuk umat muslim sekitar tanggal 15 januari 1965 dengan mementaskan ludruk di Prambon dengan lakon Gusti Allah Dadi Manten di kecamatan Kampak mereka juga mementaskan Ketoprak dengan lakon Rabine Gusti Allah.[17] Di lain kesempatan juga para kader PKI memberikan ceramah yang menjelek-jelekkan tokoh Kyai sebagai kaum feodal borjouis yang patut dilawan bahkan provokasi PKI hingga merenggut nyawa beberapa kyai. Aksi semacam itulah yang terkadang memicu bentrokan antara simpatisan PKI dengan umat Islam. Situasi ini mencapai level terpanas tak kala PKI diplat sebagai dalang gerakan 30 september yang kemudian direspon oleh masyarakat non-PKI untuk melakukan pembersihan simpatisan PKI. Kondisi ini yang kemudian hari menjadi kasus kemanusiaan,dimana sesama anak bangsa saling membunuh atas dasar sentimen ideologi yang berbeda.
Pada dasarnya aksi makar yang mengoyak keutuhan sebuah bangsa tersebut cenderung nekat. Ini terjadi akibat dari ketakutan PKI akan berita sakit kronisnya presiden Soekarno. Kekhawatiran itu muncul ketika D.N. Aidit mendapat berita dari tim dokter RRC bahwasanya Soekarno mengalami gangguan ginjal yang mengakibatakan usianya tidak bertahan lama lagi.[18] Dari situlah PKI berasumsi untuk segera melancarkan kudeta sebelum didahului musuh utamanya angkatan darat. Seandainya ketika Soekarno mangkat, sedangkan kekuasaan negara dikendalikan angkatan darat maka riwayat PKI berkelana dipanggung politik Indonesia akan tamat lebih cepat. Untuk itu, para pimpinan pimpinan PKI sadar jika keberhasilan partai palu arit tersebut bangkit pada pemilu 1955 berkat pertolongan Soekarno memberikan kesempatan sekaligus perlindungan politik semenjak gagal melakukan kudeta ditahun 1948.
Menurut data yang ada korban akibat dari aksi makar yang dilakukan PKI mencapai 60.000 orang bahkan ada yang menyebutkan mencapai 1.000.000 jiwa. Tidak ada kepastian berapa jumlah korban yang tewas dalam konflik PKI melawan kelompok nasionalis dan agama periode 1948-1968. Pastinya besar korban dari kedua belah pihak membuat G30S/PKI sebagai peritiwa kemanusian terburuk sepanjang sejarah Indonesia setelah memperoleh kemerdekaan. Peristiwa yang dikemudian hari masih menyimpan sekelumit kontroversi ini tidak bisa terkuak secara tuntas. Terbuti dari penulisan sejarah yang memiliki beberapa versi berbeda dalam mengambarkan duduk persoalan yang memicu timbulnya Gerakan 30 september. Sehingga masyarakat pada umumnya hanya menduga-duga dan menafsiri semua peristiwa yang terjadi 50 tahun silam tersebut dengan sudut pandang mereka sendiri.
Dari beberapa versi diatas kita masih mempertanyakan akan keterlibatan Soekarno dalam sepakterjang gerakan PKI. Kesimpang siuran menjadi kendala dalam menentukan pihak mana yang paling bertanggung jawab atas hilangnya puluhan ribu nyawa anak bangsa. Efek terbesar setelah gagalnya aksi G30S/PKI tersebut membuat semakin melemahnya pengaruh Soekarno dalam mengontrol pergulatan politik didalam negeri. Pengaruh Soekarno yang dulu sedemikian kuat dalam tempo kurang lebih dua tahun pasca aksi makar PKI mulai meredup. Kesempatan inilah yang dijadikan kekuatan-kekuatan politik yang masih ada untuk memulai strategi merebut kekuasaan dari Soekarno. Apalagi Soekarno tetap enggan membubarkan dan melarang PKI di Indonesia. Tuntutan yang ditekankan oleh masyarakat luas dengan istilah Tritura yang salah satu isinya menginginkan pembubaran PKI tidak ditanggapi serius oleh Soekarno. Bagi Soekarno keyakinan akan persatuan tiga aliran yang digagasnya pasti bisa terwujud. Akibat masyarakat luas mulai kehilangan kepercayaan kepada Soekarno sebagai panglima revolusi. Situasi yang tak kunjung membaik memaksa Soekarno mengeluarkan Surat perintah 11 Maret atau SUPERSEMAR yang diembankan kepada Soeharto untuk memulihkan keadaan. Namun disitu pula awal dari Soekarno kehilangan kekuasaannya sebab tak berselang lama Soekarno dimakzulkan dari kursi presiden.
Jika boleh dianalisis secara obyektif peristiwa kemanusian PKI vs non-PKI bisa dihindarkan jika saja Soekarno tidak memaksakan terbentuknya persatuan dengan konsep nasakomnya. Cita-cita memperstukan semua aliran ideologi yang tetap memasukan komunisme kedalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa lebih sering menimbulkan masalah baru. Soekarno seakan-akan lupa bagaiamana tingkah laku PKI dari perjalananya diperpolitikan Indonesia mulai dari aksi-aksi provokatif yang sebenarnya lebih tepatnya sebagai aksi pecah belah persatuan harapan Soekarno. Blunder konsep nasakom itu yang menjadi titik awal kehancuran kekuasaannya. Konsep nasakom itu pula yang mejadi titik gerak bebas komunisme melalui PKI bergerilya menggalang kekuatan untuk mendirikan negara soviet. Seandainya Soekarno mau menuruti nasehat Moh.Hatta dan K.H Idham Chalid (ketua N.U) untuk tidak memberi kesempatan dan memasukan PKI ke dalam pemerintahan, bisa jadi peristiwa kemanusiaan tahun 1948-1968 tidak akan terjadi.
Nasakom, Konsep yang Tak Pernah Matang
Konsep dasar nasakom sebelumnya sudah dirancang lama oleh Soekarno sejak tahun 1926 yang dituangkan dalam tulisanya “ Nasionalis, Islam dan Marxisme”. Hanya saja baru pada tahun 1960 Soekarno mulai menyebut akronim nasakom sebagai slogan persatuan 3 ideologi besar di Indonesia. Cita-cita luhur Soekarno dalam mewujudkan persatuan bangsa merupakan gagasan yang luar biasa sekaligus memaksa. Meski menyadari akan adanya perbedaan yang mencolok khususnya untuk ideologi Islam dan komunis, Soekarno tetap teguh dalam pendirianya. Bahkan menurut Onghokham dalam karyanya Soekarno,Orang Kiri,Revolusi & G30S 1965 menyebutkan kejatuhan Soekarno akibat dari konsitensi pandangan politik yang dipegangnya sejak muda.
Menyangkut benturan ideologi Islam dengan Komunis terjadi lebih menjurus ada ketidakpaduan kedua ideologi tersebut baik yang bersifat filosofis, teologis dan ideologis. Komunisme dalam pandangan filsafatnya menganut materialisme dengan anggapan realitas hanya yang tampak saja semacam benda dan selain diluar materi dianggap tidak ada.[19] Sehingga dapat disimpulkan Tuhan yang non-materi dianggap suatu yang tidak pernah ada. Berlawanan dengan Islam yang memberikan kepercayaan akan adanya Tuhan yang maha esa dan meyakini adanya hal-hal yang bersifat non-materi atau ghaib serta memilik aturanberupa syariat sebagai aturan hidup didunia dan akhirat.
Dibidang politik sendiri Islam dan Komunisme memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan pandangan politiknya. Komunisme yang lebih cenderung pada sikap konfrotatif yang memandang kawan dan lawan, dalam artian pihak mana yang berseberangan dengan pandanganya dianggap sebagai lawan dan boleh diserang. Islam sendiri lebih menekankan sikap maslahah ummah ( kebaikan rakyat) atau ishlahul ummah (kesejahteraan rakyat) secara menyeluruh. Sehingga sikap ini lebih cenderung kepada bentuk penguatan asaa kekeluargaan yang dibangun dengan prisip terciptanya kerharmonisan. Jauh sebelum Komunis yang mengadakan aksi makar di Madiun 1948 seorang ulama kharismatik Hadratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ary mengingatkan akan bahayanya ajaran materialisme historis yang ateis bagi Indonesia dikarenakan penginkarannya terhadap agama dan akhirat.[20]Benturan-benturan ideologi dasar Islam dan Komunis yang terjadi di Indonesia inilah yang menujukan bahwa sejatinya kedua ideologi tersebut saling bertolakbelaka.
Hanya ideologi nasionalisme saja yang dapat disandingkan dengan kedua ideologi Islam dan Komunis. Sehingga hanya terdapat dua pilihan nasionalis-agamis atau nasionalis-komunis. Sangat diharamkan sekali meramu konsep ideologi yang mencampur antara Agama dan Komunis kedalam satu paket sebab ramuan ini bukanya memberikan obat tapi bisa menjadi racun. Jadi Nasakom kurang lebih hanya sebatas sebagai konsep oplosan yang sulit untuk menjadi satu kesatuan dari sebuah ideologi.
Akhir Kisah Sang Panglima Revolusi
Sudah selama 20 tahun lebih Soekarno menjadi presiden Indonesia sejak berhasil memproklamirkan kemerdekaan ditahun 1945. Selama perjalanan sebagai presiden Soekarno tak lepas dari berbagai permasalahan dan tantangan baik yang berasal dari dalam maupun luar negara. Diawali dari menghadapi agresi militer 1 dan II Belanda, meredam pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia, pergantian sistem pemerintahan presidensil ke parlementer, suksesi pemilu tahun 1955, pembebasan Irian Jaya, berkonfrontasi dengan Malaysia, hingga lengser dari kursi kepresidenan. Semua peristiwa diatas hanya sedikit mewakili dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu masa kepemimpinan presiden Soekarno.
Sempat didapuk sebagai panglima revolusi dengan harapan mampu mengakomodir persatuan di Indonesia yang berlatarbelakang multikultural tak lantas membuat Soekarno dengan mudah merealisasikan cita-citanya. Malahan bisa dikata sang maestro terkadang membuat blunder politik yang tidak perlu. Konsep serta gagasan oplosan yang dikeluarkanya itulah sering menimbulkan multitafsir oleh para pendukungya. Seperti ketika PKI menganggap konsep nasakom sebagai keseimbangan antara nasionalisme, agama dan komunis pada tingkat eksekutif, legislatif dan komando tertinggi militer. Kemudian hari ditolak angkatan darat dengan alasan istilah nasakom hanya dimaknai sebagai semangat persatuan yang umum. Disinilah letak kurang jelasnya konsep Soekarno.[21]
Disisi lain konsep nasakom juga memberikan ruang gerak yang bebas bagi PKI untuk melakukan kembali suatu pemberontakan. Peristiwa G30S/PKI yang terlepas dari pro kontra yang muncul menjadi momen awal sebagai runtuhnya dominasi Sekarno di perpolitikan tanah air. Apalagi ke enggananya untuk membubarkan PKI sebagai pemberontakan kontra revolusi menjadi pelengkap dari kemerosotan ekonomi nasional. Akibatnya terjadi huru hara diberbagai daerah yang sulit dikendalikan memaksa presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 maret 1966 kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisikan perintah Soekarno memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengemban tugas dalam mestabilkan keamanan. Namun langkah-langkah Soeharto menimbulkan pro kontra yang membuat Soekarno harus menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPRS dengan pidato yang dikenal Nawaksara. Sayangnya pidato Soekarno tersebu ditolak oleh MPRS yang disusul keluarnya resolusi tentang persidangan istimewa MPRS oleh DPR. Dari sinilah letak titik balik ketika MPRS memutuskan memberhentikan presiden Soekarno dari jabatan presiden/Mandataris MPRS dan memilih / mengangkat pejabat presiden sesuai pasal 3 TAP MPRS No. XV/MPRS/1966.[22]
Terlepas dari semua kesalahan-kesalahan Soekarno yang pernah dilakukan semasa menjadi presiden Republik Indonesia tak lantas membuat kita menghukumnya sebagai seorang pesakitan. Sebab boleh dikata dan tidak bisa dipungkiri dibalik kejelekan Seokarno, beliau masih memiliki jasa yang besar dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Jangan sampai kita dianggap sebagai bangsa yang munafik yang memuja seseorang ketika berkuasa dan menghujatnya ketika kehilangan kekuasaanya. Wallahu ‘alam
[1] Peter Kasenda.Bunga Karno Panglima Revolusi,Yokyakarta: Galang Pustaka,2014, hlm 134.
[2] Ibid., hlm 83.
[3] Ibid., hlm 118.
[4] Ibid., hlm 103
[5] Ibid., hlm 104
[6] Ibid., hlm 106
[7] Ibid.,hlm 116.
[8] Ibid., hlm 92.
[9] Ibid., 98
[10] Nurani Soyomukti, Soekarno & Nasakom, Yokyakarta: Garasi, 2008, hlm 166.
[12] Kasenda op. Ct., hlm.53.
[13] Ibid., hlm. 247
[14] Ibid., hlm.240
[15] Soyomukti, op.cit. hlm. 156.
[16] Kasenda, op.cit. hlm. 151.
[17] H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965.Depok:Langgar Swadaya,2013,hlm.98.
[18] Kasenda, op.cit., hlm . 252
[19] Mun’im, op.cit., hlm 26.
[20] Ibid., hlm 29.
[21] John D. Legge, Soekarno Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2001,hlm.141.
[22] Hamdan Zoelva,Pemakzulan Presiden di Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika,2011,hlm 132.
Komentar
Posting Komentar